Sebaliknya, bila yang diucapkan, "Iugula!" dengan isyarat jempol menjungkir, maka melayanglah nyawa sang gladiator saat itu juga.
(Baca juga: Keputusan Badan Kesehatan Dunia: Ganja Medis Legal dan Boleh Dikonsumsi Pasien)
Dalam keadaan begini, makna baik dan buruk bisa berbeda. Bagi gladiator, isyarat jempol mendongak berdrti baik karena ia mempunyai harapan untuk tetap hidup.
Namun, bagi penonton - terlebih yang bertaruh, isyarat itu belum tentu baik karena tak ada lagi adegan yang lebih seru atau menguntungkannya.
Konon, orang Romawi mengartikan jempol mendongak sebagai kemenangan, sedangkan ibu jari terjungkir berarti kekalahan.
Makna serupa juga dianut oleh masyarakat Mesir di zaman yang sama. Malah Julius Gaesar mengartikan isyarat posisi jempol sebagai tanda kehidupan dan kematian.
Yang membuatnya percaya benar pada simbol keberuntungan itu tak lain karena, menurut pengamatannya, saat dilahirkan, seorang bayi akan merengek dan menggerak-gerakkan tangannya yang mengepal, kecuali jempol yang dibiarkan mendongak.
Gerak tangan itu diartikannya sebagai tanda awal babak kehidupan manusia.
Sebaliknya, pada orang meninggal akan ditemukan melemahnya kekuatan otot jempolnya sehingga satu-satunya jari beruas dua itu cenderung terlipat ke dalam.
Julius pun menganggapnya sebagai tanda akhit kehidupan.
Jempol memang hanya simbol fenomena budaya yang sangat tergantung pada visi budaya lokal. Hal ini coba dibuktikan oleh Desmond Morris et al (1979), yang meneliti makna isyarat ini di berbagai negara Eropa dari Inggris sampai Turki.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR