Advertorial

Laki-laki Bertambah Gembrot Setelah Menikah Bukan Isapan Jempol Belaka, Ada Angka yang Membuktikannya

Moh Habib Asyhad

Editor

Dalam pembuka tulisannya yang ditulis di The Conversation, Syrda menulis bahwa nenikah dapat mempengaruhi indeks massa tubuh seorang laki-laki.
Dalam pembuka tulisannya yang ditulis di The Conversation, Syrda menulis bahwa nenikah dapat mempengaruhi indeks massa tubuh seorang laki-laki.

Intisari-Online.com -Ujaran orang-orang tentang berat badan seorang laki-laki akan terus bertambah setelah menikah ternyata bukan isapan jempol semata. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Joanna Syrda membuktikannya.

Syrda adalah pengajar ekonomi dan bisnis di University of Bath, Inggris.

Dalam pembuka tulisannya yang ditulis di The Conversation, Syrda menulis bahwa nenikah dapat mempengaruhi indeks massa tubuh seorang laki-laki.

(Baca juga:Hati-Hati, Indeks Massa Tubuh yang Berlebih Dapat Meningkatkan Risiko Kematian Dini)

“Pengantin baru mungkin merasakan adanya peningkatan lingkar pinggang. Dan riset Syrda menunjukkan, menikah memang membuat pria bertambah gemuk,” tulisnya, seperti dilansir dari Kompas.com.

Penelitiannya juga menemukan adanya keterkaitan antara menikah dan peningkatan berat badan pada laki-laki. Menurutnya, rata-rata laki-laki yang telah menikah memiliki IMT lebih tinggi dibanding laki-laki lajang.

Sementara di sisi lain, perceraian bisa membuat berat badan itu turun.

Temuan SYrda ini paling tidak mengakhiri kebingunan yang terjadi selama ini. Selama ini, beredar beberapa teori tentang berat badan laki-laki setelah menikah.

Temua Syrda sepertinya sejalan dengan ide “marriage market theory” yang bilang bahwa laki-laki lajang akan lebih berusaha menjaga kebugaran tubuhnya dibanding laki-laki yang sudah menikah.

Teori lainnya, “social obligation theory” yang mengatakan bahwa laki-laku makan lebih teratur setelah ia menikah, mereka juga lebih gemar menghadiri acara-cara sosial dibanding sebelum ia menikah.

Lepas dari itu, penting untuk memahami lebih jauh faktor sosial yang dapat mengakibatkan naik dan turunnya berat badan. Perdebatan soal hubungan antara pernikahan dan IMT telah berlangsung begitu lama. Bahkan ada pandangan yang saling bertolak belakang soal ini.

Ada beberapa contoh bahwa pasangan yang telah menikah secara umum lebih sehat, karena mendapat manfaat dukungan keluarga dan cenderung tidak terlibat dalam perilaku berisiko.

(Baca juga:Lahir Hanya dengan Bobot 0,5 kg dan Diprediksi Tidak Bisa Bertahan Hidup Lama, Kini Bayi Prematur Itu Sudah Mulai Bersekolah)

Teori ini dikenal dengan sebutan “marriage protection theory”, dan memperkirakan IMT pria menikah justru lebih rendah.

Orang-orang yang menikah juga diperkirakan punya IMT lebih rendah karena “selection theory”. Kita semua memilih pasangan hidup berdasarkan sekumpulan karakteristik, termasuk di antaranya adalah seberapa menarik dia.

Orang-orang yang bugar lebih mungkin dipilih sebagai pasangan hidup. Menurut teori ini, pernikahan tak memiliki dampak pada IMT seseorang, tetapi orang-orang yang memiliki IMT lebih rendah justru lebih mungkin menikah.

Di sisi lain, ada beberapa teori yang mengatakan bahwa setelah menikah, orang cenderung “teledor” dan mengalami kenaikan berat badan.

Teori “marriage market theory”, misalnya, mengandaikan dunia asmara seperti dunia usaha—kita harus sedikit mempromosikan diri.

Teori itu bilang, orang yang melajang dan ingin menikah memiliki motivasi lebih tinggi dan berusaha lebih kuat untuk tetap bugar, ketimbang mereka yang sudah menikah. Tetapi setelah menikah, “tekanan” sebagai jomblo pun hilang, sehingga indeks massa tubuh mereka meningkat.

Teori “social obligation” juga mengatakan bahwa orang-orang yang terikat dalam pernikahan makan lebih teratur (dan lebih berlemak) akibat bertambahnya kehidupan sosial mereka setelah menikah.

Ganti status, angka di timbangan melonjak

Dalam rangka memahami semua teori-teori yang ada, Syrda menganalisis informasi mengenai 8.700 pria heteroseksual di AS sejak 1999 hingga 2013, menggunakan data dari Panel Study of Income Dynamics.

Di samping variabel sosio-ekonomi yang standar seperti pendidikan, pendapatan, status kerja, dan umur, Syrda juga berhasil menambahkan perubahan IMT seseorang.

(Baca juga:Kehidupan Laki-laki Obesitas Ini Selamat dan Lebih Bahagia Setelah Hanya Makan Kentang Selama Setahun)

Syrda menemukan bahwa pria yang menikah memang memiliki IMT lebih tinggi (setengah poin) dibanding pria yang belum, yang utamanya diakibatkan fluktuasi berat badan sebelum dan sesudah menikah.

(Indeks massa tubuh pria juga menurun tepat sebelum dan sesudah bercerai, karena mereka mengubah kebiasaan mereka sesuai “marriage market theory” dan motivasi menjaga ukuran timbangan lagi.)

Temuan Syrda mendukung teori bahwa setelah menikah, kita jadi lebih sering mendatangi acara sosial yang menghidangkan makanan berlemak, atau makan lebih teratur bagi pria.

Secara umum, para ayah dengan anak di bawah umur 19 tahun tidak memiliki IMT lebih tinggi daripada pria yang belum beranak atau para ayah dengan anak lebih tua.

Meski demikian, mereka cenderung punya IMT lebih tinggi di tahun-tahun awal setelah kelahiran anak. Para pria yang baru memiliki anak mungkin saja kekurangan waktu untuk berolahraga.

Memiliki anak juga mengurangi risiko perceraian, sehingga mereka semakin kehilangan alasan untuk menjaga kebugaran.

Dampak menikah terhadap indeks massa tubuh tidak besar, tapi signifikan secara statistik. Adalah berharga untuk memahami faktor sosial apa yang dapat memengaruhi naik-turunnya berat badan, terutama hal-hal umum seperti pernikahan dan kelahiran anak.

Menyadari risiko-risiko potensial yang ada dapat membantu kita membuat keputusan dengan informasi lengkap seputar kesehatan. Bagi pria menikah yang ingin menghindari kenaikan indeks massa tubuh, mereka harus memperhatikan betul motivasi, perilaku, dan kebiasaan makan mereka.

(Artikel ini ditulis oleh Joanna Syrda dan sebelumnya sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Angka Tidak Berdusta: Pria Memang Bertambah Gemuk Setelah Menikah")

Artikel Terkait