Advertorial

Inilah Pertempuran Laut Heroik yang Berakibat Pada Tenggelamnya Kapal RI Gadjah Mada

Ade Sulaeman

Editor

Jauh sebelum pertempuran di Laut Aru yang menyebabkan tenggelamnya KRI Macan Tutul (Januari 1962) ternyata pernah berlangsung pertempuran laut yang berakibat yang tak kalah heroiknya.
Jauh sebelum pertempuran di Laut Aru yang menyebabkan tenggelamnya KRI Macan Tutul (Januari 1962) ternyata pernah berlangsung pertempuran laut yang berakibat yang tak kalah heroiknya.

Intisari-Online.com - Sebelum peristiwa pertempuran Laut Aru yang berakibat pada tenggelamnya kapal perang KRI Macan Tutul (Januari 1962) ternyata pernah berlangsung pertempuran laut yang berakibat pada tenggelamnya kapal RI Gadjah Mada di Cirebon (Januari 1947).

Pada 7 Januari 1947 untuk mengantisipasi serangan Belanda dan sekaligus melatih kesiapan tempur personelnya, Angkatan Perang RI berencana menggelar latihan perang dan pendaratan melalui laut di Pangkalan III Angkatan Laut RI (ALRI) Cirebon.

Latihan melibatkan kesatuan-kesatuan AD, Laskar Pemuda , Kepolisian, dan ALRI yang berbasis di sekitar Karesidenan Cirebon.

Latihan tempur digelar dalam dua tahapan, yaitu latihan perang laut dan pendaratan amfibi.

(Baca juga: Perang Enam Hari, Mengingat Kembali Sejarah Jatuhnya Yerusalem ke Tangan Israel)

Lalu dilanjukan latihan perang darat yang melibatkan kesatuan-kesatuan gabungan dari AD, AL, Laskar Pemuda, Kepolisian dan warga masyarakat di sekitar kota Cirebon.

Pangkalan III ALRI Cirebon yang dikomandani Kolonel H.P. Simanjuntak memiliki sebuah kapal perang jenis coaster (peronda pantai) yang dibeli dari Singapura.

Kapal ini kemudian diberi nama RI Gadjah Mada-408. Kapal kayu dengan diameter panjang 32 meter, lebar 5 meter dan kecepatan maksimum 12 mil per jam.

Kapal tersebut, dimodifikasi menjadi kapal perang dengan dilengkapi persenjataan mitraliur berat 12,7 mm di anjungan dan mitraliur pompom 20mm di buritannya.

RI Gadjah Mada diawaki oleh 23 orang ABK (1 komandan dan 22 ABK), dipimpin oleh Letnan Satu Samadikoen (26th).

Latihan perang laut digelar oleh satuan eskader Corps Armada Pangkalan III ALRI Cirebon, yang terdiri atas RI Gadjah Mada-408, kapal patroli tipe P-6, P-7, P-8, P-9 dan P-10, serta kapal motor Antaredja, Semar, dan Soerapringga.

Sebuah kapal kayu eks Jepang tidak bernama juga dilibatkan, trmasuk lima motor-boat, dan dua kapal pendarat (landing craft vehicle-personnel/LCVP).

Dalam latihan, kapal RI Gadjah Mada-408 bertindak sebagai kapal pimpinan.

(Baca juga: Sri Mulyono, Pernah Bikin AURI Jadi Amat Ditakuti Tapi Terpaksa Jadi Peternak Ayam Gara-Gara G30S)

Latihan perang laut meliputi materi latihan formasi kapal, pendaratan ke pantai dan navigasi, serta manuver tempur.

Sedangkan materi latihan gabungan meliputi latihan pertahanan pangkalan, perang gerilya, bantuan tembakann kapal dan penyaluran bantuan logistik.

Sebagai sarana komunikasi dipergunakan radio telegrafis dan bendera isyarat.

Pada saat latihan manuver di laut yang melibatkna RI Gadjah Mada, P-8, P-9, Antaredja dan Semar berada di bagian utara perairan Cirebon.

Eskader ALRI tersebut sempat dua kali diganggu oleh kapal perang Belanda jenis peronda pantai Hr.Ms. Morotai, yaitu tanggal 2 dan 3 Januari 1947.

Bahkan pada insiden tanggal 3, eskader ALRI nyaris tabrakan dengan kapal Belanda tersebut karena cuaca yang berkabut.

Selanjutnya, antara tanggal 4 dan 5 Januari muncul kapal perang Belanda yang lain, yaitu jenis Pemburu Torpedo (Jaeger Torpedo) Hr.Ms. Kortenaer (JT-6) disekitar daerah latihan eskader ALRI.

Pada tanggal 5 Januari, sekitar pukul 06.30, saat eskader ALRI yang terdiri atas RI Gadjah Mada, P-8, P-9, Semar, dan Antaredja, tengah bergerak kembali menuju pangkalan usai latihan, Hr.Ms. Kortenaer bergerak mendekat dan hendak memotong jalur eskader ALRI.

Manuver Kortenaer terpantau jelas oleh pengawas pantai Pangkalan III Cirebon.

Namun mereka tidak dapat menghubungi eskader ALRI karena radio telegrafis tidak berfungsi akibat listrik padam.

Setelah jarak kian dekat, Hr.Ms. Kortenaer memberikan isyarat lampu “K”(berhenti) kepada kapal-kapal ALRI.

Eskader ALRI segera memberitahukan siaga tempur. Kortenaer mengirimkan isyarat hingga tiga kali namun tidak dihiraukan satuan eskader ALRI.

Merasa dianggap remeh, Komandan Kapal Kortenaer G.B. Fortuyn memerintahkan untuk melepaskan tembakan peringatan.

Tembakan pertama dilepaskan pukul 08.00 dan jatuh tidak jauh dari arah depan kapal Gadjah Mada.

Tembakan kedua jatuh tak jauh dari P-8. Penembakan terus dilakukan dengan frekuensi yang tidak tetap.

Akibatnya, eskader ALRI kontan bubar menyelamatkan diri dengan berpencar.

Selanjutnya kapal perang Belanda itu menjadikan Gadjah Mada dan P-8 sebagai sasaran utama karena berada dalam jangkauan meriamnya.

Tembakan meriam di lambung kiri Kotenaer berhasil merobek lambung kanan Gadjah Mada.

Tiga ABK Gadjah Mada gugur di tempat. Kebakaran hebat melanda kapal.

Kapal perang Belanda tersebut terus melakukan penembakan terarah ke RI Gadjah Mada.

Sementara kapal perang ini sudah menjadi bulan-bulanan, P-8 dapat menyelamatkan diri dengan cara bermanuver zig-zag.

Nasibnya jauh lebih baik, P-8 bahkan terhindar dari tembakan dan bisa berlabuh di tanjung Indramayu.

Letnan Samadikoen kemudian memerintahkan kapal, yang terbakar hebat, untuk bergerak mendekati posisi musuh.

Saat itulah Perwira Altileri Gadjah Mada Letnan Satu Ahmad Zein, mulai menembakkan mitraliur berat 12,7mm-nya secara gencar.

Manuver Gadjah Mada tersebut dipandang membahayakan Kortenaer, sehingga Komandan Kapal G.B. Fortuyn memerintahkan untuk menghabisinya dengan tembakan salvo

Tembakan salvo mengenai Gadjah Mada namun belum tenggelam. Para ABK Gadjah Mada, kecuali Samadikoen, berlompatan ke laut.

Samadikoen dengan mitraliur 12,7-nya, terus melakukan perlawanan hingga titik darah yang terakhir.

Namun tembakan salvo Kortenaer berikutnya tepat mengenai anjungan.

Samadikoen terkena pecahan peluru meriam yang menyebabkan tangan kirinya putus dan mukanya hangus.

Ia gugur, jasadnya terlempar ke laut. Akhirnya RI Gadjah Mada tenggelam pada posisi 3 mil arah timur laut Pantai Gunung Jati.

Selain Letnan Samadikoen, empat orang ABK Gadjah Mada lainnya juga gugur.

Pertempuran ini juga mengakibatkan 17 ABK ditawan Belanda, sementara seorang lainnya berhasil meloloskan diri dan selamat tiba kembali ke pangkalan.

Jenazah Samadikoen ditemukan nelayan pada 6 Januari 1947 sekitar pukul 11.30 dan esoknya dimakamkan di pemakaman Kosambi dengan upacara kemiliteran.

Pada tahun 1950 pemerintah setempat memindahkan Samadikoen ke Taman Makam Pahlawan Kesenden Cirebon.

(Baca juga: Jet Tempur F-15 C Ini Patah Jadi Dua Saat Terbang, Begini Nasib Pilotnya)

Artikel Terkait