Advertorial
Intisari-Online.com – Menjelang hari Natal selalu ada kesibukan luar biasa di kalangan penjual bibit tanaman hias. Bibit berbagai cemara Iebih membludak daripada biasanya.
Slamet Soeseno menuturkan jenis-jenis cemara apa yang biasanya dipilih sebagai pohon Natal.
Jenis cemara yang ditawarkan di Indonesia bermacam-macam. Ada cemara kipas, cemara Norfolk, cemara tusam, cemara angin.
Sial sekali, semua cemara itu tidak ada yang sama dengan pohon sedar Libanon, Cedrus libani, yang dipakai orang Libanon dan Palestina merayakan Natal pertama di tanah Nabi Isa Al Masih dulu.
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)
Pokoknya hijau
Dari mana asal-muasal kebiasaan memakai pohon cemara untuk merayakan hari Natal itu? Sampai sekarang tidak jelas.
Tiba-tiba saja perayaan itu tercatat dalam kalender tahun 354. Jadi 3,5 abad sesudah kelahiran Nabi Isa Al Masih.
Tanggal 25 Desember ditetapkan oleh gereja Katolik Roma sebagai hari Natal yang resmi, walaupun gereja lain, seperti gereja ortodoks dan Armenia misalnya, menetapkan tanggal 6 Januari.
Diduga penetapan tanggal 25 Desember itu karena disengaja, agar perayaannya bisa bersamaan dengan kebiasaan orang Romawi sebelumnya, yang merayakan Dies Natalis Solis Invicti (hari kelahiran matahari yang tidak bisa dikalahkan).
Pada hari itu, hari mulai panjang lagi, sesudah terus-menerus dibuat pendek selama musim dingin sebelumnya.
Pada festival ini, orang Romawi yang belum masuk Kristen bergembira semua; dan saling bertukar hadiah.
(Baca juga: Sambil Menyerahkan Diri kepada Polisi Kanibal Ini Bilang: “Saya Bosan Makan Daging Manusia”)
Pesta pora berlangsung beberapa hari, sampai akhirnya pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya, rumah-rumah dihias dengan lampu-lampu menyala.
Hadiah dibagikan lagi kepada anak-anak yatim piatu dan orang miskin.
Kebetulan, orang Jerman juga merayakan hari kemenangan suku bangsa Teutonia yang menaklukkan suku bangsa Gaul di Inggris.
Mereka menghias tempat-tempat pesta kemenangan dengan kembang api, lampion berisi Win menyala, dan potongan pohon silver fir (Abies alba) sebagai simbol kehangatan dan panjang umur.
Sejak itulah, pucuk pohon yang hijau (karena memang evergreen, walaupun sudah musim salju) temuan- orang Jerman itu diterima sebagai simbol selamat bertahan hidup, untuk merayakan hari Natal.
Berabad-abad kemudian mereka memakai pohon spruce (Picea abies) yang tajuk daunnya seperti kerucut.
Bagian bawah dekat tanah membulat lebar, dan makin ke atas makin meruncing sempit.
Sebagai pohon Natal, spruce Inggris atau spar Belanda ini jelas lebih indah daripada silver fir nenek mereka yang tajuknya seperti lontong. Dari bawah sampai ke atas sama terus lebarnya.
Sialnya, silver fir itu di Jerman disebut Tannenbaum dan di Belanda denneboom. Ini sudah betul, tapi spruce penggantinya juga mereka sebut Tannenbaum dan dennenboom.
Lha, ini yang kurang tepat! Seharusnya ‘kan Rottannenbaum dan sparreboom. Jadi cucu-cucu tidak rancu.
Sesudah orang Eropa menjajah bangsa lain, kebiasaan memakai spar itu juga disebarluaskan ke bangsa lain di benua lain.
Kita di Indonesia ditulari kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang memakai Tannenbaum yang silver fir itu, untuk merayakan hari Natal dengan spar.
Nyanyiannya "O, Tannenbaum, o Tannenbaum, ...." Padahal yang mereka hadapi bukan Tannenbaum.
Untung, ada yang mengalihtuliskan lirik ke bahasa Indonesia sebagai: "Pohon terang, pohon terang, sangat indah warnamu."
Tidak mungkin salah, jadinya. Sebab, di Indonesia memang tidak ada Tannenbaum, apa lagi spar.
Macam-macam juga
Tapi juga sudah sejak dulu, jenis yang dipakai sebagai pohon Natal berbeda-beda.
Kalau di Libanon dipakai pohon sedar, dan di Eropa dipakai spruce yang salah kaprah mereka sebut Tannenbaum, maka di Amerika dan Kanada dipakai pohon balsam Kanada, Abies balsamea.
Di Indonesia juga bermacam-macam yang dipakai. Kebanyakan yang piramidal bentuknya.
Bagian bawahnya melebar, dan makin ke atas makin menyempit, sampai berakhir dengan pucuk yang runcing.
Jadi mirip pohon besar di alam, tapi masih mungil (karena masih muda) di dalam ruangan rumah.
Mereka yang berjiwa artistik memilih jenis yang artistik, tentunya. Yang konservatif melestarikan nilai-nilai kebesaran zaman nenek moyang, akan memilih jenis yang mendekati cemara Cedrus orang Libanon dan Palestina.
Sedangkan yang berjiwa kontemporer memilih yang mana saja. Pokoknya, hijau dan bagian bawahnya lebar, tapi bagian atasnya meruncing.
Perkara kurang artistik, ya diberi hiasan natal saja yang banyak! Perkara kurang mendekati cemara asli Palestina, ya dibayangkan saja dalam angan-angan sambil merem.
Sebenarnya, bagaimana sosok sedar Libanon itu? Batangnya tegak lurus mengesankan, dengan cabang-cabang yang tumbuh mendatar.
Tapi ranting-rantingnya membelok ke atas, sehingga pohon itu tampak sepertil candelabrum (tempat lilin yang bercabang pada altar gereja).
Pohon indah ini juga biasa ditanam sebagai pohon hias di taman kalau masih imut-imut.
Sedar seperti itu juga tidak ada yang tumbuh di Indonesia secara alamiah, kecuali ditanam paksa di halaman rumah peristirahatan daerah pegunungan tinggi, 2.000 m di atas permukaan laut.
Hawa dinginnya memang mirip dengan iklim subtropis pegunungan Libanon sana. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah kita temukan dijual di kebun pembibitan tanaman hias.
Padahal ia pohon Natal yang tulen.
Cemara kipas juga bagus
Yang lebih banyak ditemukan di Indonesia malah White Cedar, Thuja orientalis asal Cina. Nama botaninya yang betul ialah Biota orientalis.
Tidak begitu jelas apakah nama biota ini diberikan karena ia tetap hidup walaupun dipangkas berkali-kali untuk dibentuk sesuai selera pemeliharanya.
Ataukah karena ia berkhasiat menghidupkan orang kembali, yang tadinya sudah setengah mati. Nama populemya arborvitae, yang diterjemahkan ke bahasa lain sebagai "pohon kehidupan".
Cabang dan rantingnya yang sepintas lalu tampak seperti daun itu, aneh sekali seperti dipres.
Sepucuk cabang beranting yang dipetik dari batangnya, tampak seperti kipas yang dapat dikipas-kipaskan sebagai tepas.
Karena itu, ia pun disebut cemara kipas. Cabang kipas ini aneh sekali tumbuh vertikal.
Bentuk keseluruhan pohon seperti limas atau piramida, tapi sering kali ia dipangkas menjadi bentuk bermacam-macam.
Bahkan ada yang sejak muda dibentuk menjadi pagar hidup. Seorang teman yang cerdik menanam cemara itu dalam drum, sebagai tahilampot (tanaman hias dalam pot) di pekarangan rumah.
Kalau akan dipakai natalan, cemara dipindahkan ke ruang salon, dan kalau sudah usai, ia dikembalikan ke kebun lagi. Sampai jumpa, tahun depan!
Dari Norfolk sampai ke udang
Jenis yang benar-benar mirip pohon, dengan cabang dan ranting yang tidak gepeng, ialah cemara Norfolk, Araucaria excelsa.
Ia disebut cemara Norfolk, karena berasal dari Pulau Norfolk di Samudera Pqsifik Selatan, sebelah timur Australia. Tapi orang sono sendiri menyebutnya Pacific pine.
Karena tanaman mudanya sering ditanam dalam pot sebagai tanaman hias ruangan, ia pun disebut indoor fir.
Di udara luar; ia dapat tumbuh setinggi 60 m. Cabangnya mendatar dan tumbuh secara teratur melingkari batang, sehingga tajuk pohon itu jadi piramidal bagus sekali.
Tapi harganya juga bagus (mahalnya), sehingga perlu dipakai berkali-kali, supaya pemiliknya tidak merasa rugi membeli tanaman itu.
Usai perayaan Natal, hiasannya diambil untuk disimpan, dan cemaranya yang gundul lagi dipajang kembali sebagai tanaman hias ruangan indoor fir.
Begitu dilakukan setiap kali natalan, selama beberapa tahun, sampai pohonnya sudah terlalu bongsor dan perlu diganti dengan bibit baru yang lebih muda dan cantik.
Bumi Indonesia kita sendiri juga mempunyai jenis cemara asli, yang terkenal sebagai pohon tusam atau cemara pinus, Pinus merkusii warga Sumatra. "Daun" (yang sebenarnya ranting)-nya lebih jarang, dan cabangnya lebih lebar jaraknya, sehingga kurang begitu menggembirakan.
Tapi kalau masih muda, daun dan cabangnya masih saling berdekatan. Biasanya yang dipakai juga tusam bibit, atau tusam muda.
Cabangnya yang mendatar mempunyai ranting yang tumbuh teratur letaknya. Kalau dipotong (terutama cabang paling bawah), ia tampak seperti batang muda yang lengkap dengan cabang dan pucuk tajuk di puncaknya.
Ditancapkan dalam pot berisi batu, kerikil, dan pasir, ia sudah bisa bertindak sebagai "pohon Natal cangkokan".
Selama beberapa hari sampai tahun baru, "pohon Natal cangkokan" ini masih akan tampak hijau, tapi sesudah perayaan usai, ia kering coklat dan minta dibuang ke tempat sampah.
Setiap tahun kita dapat membuat pohon Natal sekali pakai seperti itu dari cabang paling bawah "daripada" pohon tusam induk yang tumbuh di kebun.
Yang celaka ialah kalau ada yang nekat memotong tajuk bagian atas pohon itu yang tumbuh di taman kota misalnya.
Potongan itu memang bagus sebagai pohon Natal, tapi tusam di taman yang dipenggal pucuknya itu jadi seperti dipotong kepalanya.
Ikut nimbrung
Di samping jenis-jenis cemara yang memang termasuk keluarga cemara Pinaceae di atas, kita masih mempunyai jenis pohon lain yang ikut nimbrung disebut cemara.
Padahal secara botanis, mereka bukan bangsa Coniferae (tanaman berbiji telanjang yang buahnya seperti konus) seperti jenis-jenis cemara yang lain, tapi malah masuk bangsa tanaman berbiji tertutup berkeping dua, seperti buah nona dan sinyo nakal.
Daunnya seperti gigi yang kecil, sedangkan rantingnya yang justru tampak seperti daun lebih panjang daripada jarum, sampai lesu bergantungan seperti bulu burung kasuari.
Marga pohon ini pun disebut Casuarina.
Tapi apa boleh buat, nenek moyang kita sudah telanjur salah menyebutnya cemara, karena menganggap pohon itu sama saja dengan pohon yang daunnya seperti jarum.
Padahal buahnya bukan buah runjung yang mengerucut seperti konus, Coniferae.
Ada cemara gunung Casuarina junghuhniana yang tumbuh asli di pegunungan seperti Tengger dan Iyang.
Ada yang selalu pilek masuk angin kalau ditaruh di lereng gunung, dan lebih suka hidup di daerah panasnya dataran rendah dekat pantai, sampai dikata-katai sebagai cemara laut Casuarina equisetifolia.
Para penggemar tanaman generasi muda tidak mau menyebut cemara ini cemara laut seperti nenek moyang kita, tapi cemara angin. Pohon itu memang suka mendesis menyuarakan angin lalu, kalau tertiup embusan mulut Batara Bayu.
Jenis cemara ini pula yang disebut cemara udang, kalau entuknya bekek karena kekurangan gizi.
Beberapa orang Maduralah yang memberi nama baru ini, karena bentuk Casuarina yang tumbuh di tanah berpasir pantai mereka membungkuk seperti udang.
Tanaman yang masih muda (terutama di daerah pedesaan) sering dipakai sebagai pohon Natal juga, tapi tanaman, yang tumbuh normal dan tegak sebagaimana mestinya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1995)
(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)