Tapi harganya juga bagus (mahalnya), sehingga perlu dipakai berkali-kali, supaya pemiliknya tidak merasa rugi membeli tanaman itu.
Usai perayaan Natal, hiasannya diambil untuk disimpan, dan cemaranya yang gundul lagi dipajang kembali sebagai tanaman hias ruangan indoor fir.
Begitu dilakukan setiap kali natalan, selama beberapa tahun, sampai pohonnya sudah terlalu bongsor dan perlu diganti dengan bibit baru yang lebih muda dan cantik.
Bumi Indonesia kita sendiri juga mempunyai jenis cemara asli, yang terkenal sebagai pohon tusam atau cemara pinus, Pinus merkusii warga Sumatra. "Daun" (yang sebenarnya ranting)-nya lebih jarang, dan cabangnya lebih lebar jaraknya, sehingga kurang begitu menggembirakan.
Tapi kalau masih muda, daun dan cabangnya masih saling berdekatan. Biasanya yang dipakai juga tusam bibit, atau tusam muda.
Cabangnya yang mendatar mempunyai ranting yang tumbuh teratur letaknya. Kalau dipotong (terutama cabang paling bawah), ia tampak seperti batang muda yang lengkap dengan cabang dan pucuk tajuk di puncaknya.
Ditancapkan dalam pot berisi batu, kerikil, dan pasir, ia sudah bisa bertindak sebagai "pohon Natal cangkokan".
Selama beberapa hari sampai tahun baru, "pohon Natal cangkokan" ini masih akan tampak hijau, tapi sesudah perayaan usai, ia kering coklat dan minta dibuang ke tempat sampah.
Setiap tahun kita dapat membuat pohon Natal sekali pakai seperti itu dari cabang paling bawah "daripada" pohon tusam induk yang tumbuh di kebun.
Yang celaka ialah kalau ada yang nekat memotong tajuk bagian atas pohon itu yang tumbuh di taman kota misalnya.
Potongan itu memang bagus sebagai pohon Natal, tapi tusam di taman yang dipenggal pucuknya itu jadi seperti dipotong kepalanya.
Ikut nimbrung
Di samping jenis-jenis cemara yang memang termasuk keluarga cemara Pinaceae di atas, kita masih mempunyai jenis pohon lain yang ikut nimbrung disebut cemara.
Padahal secara botanis, mereka bukan bangsa Coniferae (tanaman berbiji telanjang yang buahnya seperti konus) seperti jenis-jenis cemara yang lain, tapi malah masuk bangsa tanaman berbiji tertutup berkeping dua, seperti buah nona dan sinyo nakal.
Daunnya seperti gigi yang kecil, sedangkan rantingnya yang justru tampak seperti daun lebih panjang daripada jarum, sampai lesu bergantungan seperti bulu burung kasuari.
Marga pohon ini pun disebut Casuarina.
Tapi apa boleh buat, nenek moyang kita sudah telanjur salah menyebutnya cemara, karena menganggap pohon itu sama saja dengan pohon yang daunnya seperti jarum.
Padahal buahnya bukan buah runjung yang mengerucut seperti konus, Coniferae.
Ada cemara gunung Casuarina junghuhniana yang tumbuh asli di pegunungan seperti Tengger dan Iyang.
Ada yang selalu pilek masuk angin kalau ditaruh di lereng gunung, dan lebih suka hidup di daerah panasnya dataran rendah dekat pantai, sampai dikata-katai sebagai cemara laut Casuarina equisetifolia.
Para penggemar tanaman generasi muda tidak mau menyebut cemara ini cemara laut seperti nenek moyang kita, tapi cemara angin. Pohon itu memang suka mendesis menyuarakan angin lalu, kalau tertiup embusan mulut Batara Bayu.
Jenis cemara ini pula yang disebut cemara udang, kalau entuknya bekek karena kekurangan gizi.
Beberapa orang Maduralah yang memberi nama baru ini, karena bentuk Casuarina yang tumbuh di tanah berpasir pantai mereka membungkuk seperti udang.
Tanaman yang masih muda (terutama di daerah pedesaan) sering dipakai sebagai pohon Natal juga, tapi tanaman, yang tumbuh normal dan tegak sebagaimana mestinya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1995)
(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR