Advertorial
Intisari-Online.com – Gangguan pada tidur sering disebut insomnia. Ini mencakup kesulitan dalam memulai tidur, maupun kesulitan dalam mempertahankan kualitas tidur yang baik.
Gangguan tidur ini bisa terjadi sebagai akibat gangguan non-organik yaitu gangguan yang bukan disebabkan penyakit, seperti kebiasaan buruk yang biasa dilakukan: minum kopi terlalu banyak dan bergadang atau kerja malam.
Gangguan tidur bisa juga disebabkan penyakit, seperti salah satunya yang paling banyak adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau mengorok.
OSA artinya terjadi hambatan penghantaran oksigen yang bisa menyebabkan otak dalam keadaan hipoksia atau kekurangan oksigen. Kondisi ini bisa membuat penderitanya menjadi terbangun untuk bernapas normal kembali.
(Baca juga: Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Penyebab lain yang tersering adalah adanya gangguan hormonal. Misalnya tingginya kadar hormon tiroid atau kerap disebut sebagai hipertiroidisme. Juga, karena kondisi mental yang tidak kalah penting, yakni stres dan depresi.
Insomnia pun terbagi menjadi tiga macam. Transien, bila terjadi kurang dari satu minggu disertai dengan adanya gangguan mental seperti stres. Akut, bila terjadi gangguan tidur kurang dari satu bulan. Terakhir, insomnia kronis, yaitu bila terjadi lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala yang bisa ditemui ketika Anda dalam kondisi insomnia di antaranya adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur dengan kualitas yang baik, mudah terasa lelah dan tersinggung, rasa kantuk yang berlebihan di siang hari, gangguan mood, stres dan depresi untuk mendapatkan tidur yang baik, serta gangguan dalam pekerjaan akibat kurangnya perhatian dan konsentasi.
Studi yang dilakukan dokter Lars Erik Laugsand dari Norwegian University of Science and Technology terhadap 50.000 orang di Norwegia menyatakan bahwa orang yang memiliki gangguan tidur setiap malam memiliki risiko sebesar 45% terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah, 30% bagi penderita yang sulit menjaga kualitas tidur, serta 27% bagi penderita yang merasa tidak segar ketika bangun di pagi hari.
Obesitas dan diabetes melitus juga lebih banyak menyerang penderita gangguan tidur yang memiliki riwayat OSA. Penderita gangguan tidur dengan OSA juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit jantung, pembuluh darah, dan stroke melalui peningkatan tekanan darah.
“Gangguan tidur yang sifatnya sementara sebenarnya belum memerlukan pengobatan dengan pil tidur seperti yang banyak diceritakan dalam film di televisi,” jelas dr. Mohammad Caesario.
Dokter biasanya hanya menyarankan tips di bawah ini:
(Baca juga: Sleep Apnea, Salah Satu Jenis Gangguan Tidur yang Bisa Sebabkan Orang Berhenti Bernapas Ketika Tidur)
Selain dibutuhkan konseling untuk mengatasi masalah si penderita, biasanya dokter akan meresepkan obat tidur yang fungsinya mampu mengatur struktur kimia saraf di otak.
Jadi sebetulnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah minum obat tidur adalah efek samping dari obat-obatan penenang mental tersebut.
Dan bila obat ini dikonsumsi dalam jangka waktu panjang bisa menimbulkan toleransi. Penderita pun membutuhkan dosis yang lebih tinggi karena sudah “kebal”.
Buruknya, efek samping obat ini bisa menimbulkan kerusakan organ tubuh, antara lain hati dan ginjal.