Di sebuah sekolah militer, sebuah hanggar yang berisi suku cadang helikopter dan pesawat, diubah menjadi semacam kantor konsultasi hukum.
Yang mengharukan, ternyata hadirnya pengacara dan petugas asuransi, membuat tentara-tentara itu termangu.
"Rasanya seperti berhadapan dengan malaikat elmaut," kata seorang kolonel.
Seorang pengacara di kota lain juga mengakui hal serupa.
"Mula-mula mereka menganggap enteng urusan surat wasiat ini. Tapi tiba-tiba mereka tercenung, sadar kalau mereka sedang membahas kematian sendiri."
Pita kuning pembangkit semangat
Bagi keluarga yang ditinggalkan berperang, ternyata banyak hal yang bisa menimbulkan kesedihan.
Kalau Anda melihat ada pohoh-pohon diberi pita kuning, tandanya ada keluarga yang sedang mendoakan anggotanya yang bertempur.
Pita pada pohon itu simbol untuk membangkitkan semangat di masa krisis.
Yang juga menyedihkan adalah suasana di kota-kota kecil, di tangsi militer. Kota yang biasanya ramai jadi sepi.
Beberapa stasiun televisi lokal menayangkan gambar deretan video game yang tidak terpakai, bar dan warung kopi yang jadi sunyi senyap, karena pemuda atau tentara yang biasa nongkrong di sana, kini tidak ada lagi.
Beberapa orang yang masih tinggal di tangsi dalam wawancara di teve juga menyatakan frustrasi, kecewa, sedih dan sebagainya.
Perlu ditambahkan, yang berangkat bertempur kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu, kalangan kulit berwarna, hitam maupun Hispanik.
Banyak juga dari keturunan Asia, termasuk yang berdarah Jepang di bagian intelijen.
Hal yang wajar kalau keluarga sederhana, tidak mempunyai cukup biaya untuk mengirim putra-putri mereka ke universitas, merestui mereka menempuh karier militer.
Ini biasanya dianggap jalan pintas yang mulia. Tentu semua itu, mahal ongkosnya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1991)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR