Advertorial
Intisari-Online.com - Upaya mencari solusi secara damai terkait konflik AS dan Korut yang sudah seperti di ambang perang memang sulit dilakukan mengingat baik pemimpin Korut Kim Jong Un maupun Presiden AS Donald Trump sebenarnya sudah saling melupakan sejarah.
Sejarah yang dilupakan adalah ketika Perang Korea (1950-1953) berakhir, kedua belah yang bertikai, Korut vs AS dan Korsel tidak meghentikan perang melalui perundingan damai melainkan melalui gencatan senjata.
Peperangan yang dihentikan melalui gencatan senjata sangat beresiko meletus lagi karena kedua belah pihak yang bermusuhan sebenarnya masih dalam kondisi saling berperang.
Oleh karena itu jika salah satu pihak sengaja melanggar gencatan senjata itu dengan cara melancarkan serangan militer maka peperangan secara otomatis akan meletus lagi tanpa melalui pengumuman perang (declared war).
Sejak Perang Korea berakhir melalui gencatan senjata pihak yang sering melanggar sebenarnya Korut.
(Baca juga: Sibuk dengan Nuklir Korut dan Iran, Trump Lupakaan Korban Kebakaran California?)
(Baca juga: Dianggap Jadi Jadi Sekutu AS dan Korsel, Australia Diancam akan Dihancurkan oleh Korut)
Pasalnya Korut sudah beberapa kali melancarkan serangan ke Korsel seperti serangan komando untuk membunuh Presiden Korsel (1968), melancarkan serangan teror untuk membunuh Presiden Korsel di luar negeri dan pengeboman pesawat Korsel yang menyebabkan 115 orang tewas (1983-1987), serangan artileri Korut ke pulau Yeonpyeog Korsel (2010), dan lainnya.
Tapi dari sejumlah serangan Korut yang jelas-jelas ditujukan ke Korsel dan menunjukkan pelanggaran gencatan senjata itu, baik Korsel maupun AS tidak pernah melakukan serangan balasan yang kemudian memicu pecahnya Perang Korea kedua.
Dengan pengalaman melakukan berbagai serangan baik secara militer maupun teror yang tanpa mendapat serangan balasan yang memadai itu maka Korut pun jadi makin berani ‘’kurang ajar’’ terhadap Korsel dan AS.
Di sisi lain lain Korut juga merasa lebih superior karena dari berbagai serangan militer dan teror yang pernah dilakukan terhadap Korsel, posisi Korut di dunia internasional menjadi makin terkenal dan menjadi satu-satu negara ketiga yang berani melawan serta ditakuti oleh AS.
Berkat perasaan superior itulah Korut terus mengembangkan program senjata nuklirnya karena melalui kepemilikan senjata pemusnah massal itu, Korut akan terus diperhitungkan sebagai kekuatan militer yang paling berbahaya bukan hanya bagi Korut dan AS tetapi juga dunia internasional.
Apalagi secara militer posisi Korut dan Korsel-AS masih dalam situasi peperangan terkait Perang Korea yang hanya berakhir dengan gencatan senjata.
Maka sebenarnya tidak salah bagi Korut untuk terus memperkuat mesin-mesin perangnya demi persiapan Perang Korea yang sewaktu-waktu bisa meletus lagi tanpa melalui pengumuman perang.
Upaya penyelesaian konflik Korut dan AS secara damai sebenarnya juga mustahil dilakukan jika antara Korut-Korsel serta AS tidak membereskan terlebih dahulu status Perang Korea yang hanya berakhir dengan gencatan senjata itu.
(Baca juga: Hubungan Korut-AS yang Kian Menegang Ternyata Membuat Donald Trump Makin Senang)
(Baca juga: Merasa Ditantang AS Lewat Latihan Perang, Militer Korut Siap Luncurkan Rudal untuk Menghantam Guam)
Perang Korea (1950-1953) yang sebenarnya masih berlangsung hingga sekarang harus dibereskan terlebih dahulu melalui perundingan damai sehingga muncul kesepakatan dari kedua belah pihak untuk tidak saling berperang lagi.
Namun, jika Perang Korea statusnya masih dibiarkan dalam kondisi gencatan senjata, Korut yang terus mengancam menyerang AS dan negara-negara sekutunya menggunakan rudal nuklir sebenarnya ‘’tidak salah’’.
Pasalnya AS dan sekutunya juga terus-menerus melakukan latihan perang dengan strategi tempur yang disiapkan untuk menggempur Korut.
Dalam kondisi sedang saling mengancam itu, bak harimau siap bertarung seraya menunjukkan gigi taringnya, upaya perundingan damai yang selalu ditawarkan oleh AS kepada Korut memang tidak akan mempan.
Meskipun AS, seperti ditegaskan oleh Menteri Luar Negerinya, Rex Tillerson, akan terus mengupayakan pemecahan secara diplomatik dengan Korut “sampai Kim Jong Un menjatuhkan bom pertamanya”.
Sementara Presiden Donald Trump yang makin tidak sabar dalam menghadapi ulah Korut sudah siap memerintahkan militer AS untuk menghancurkan Korut.
Namun seperti bisa ditebak, Korut yang dari sejak Perang Korea berakhir memang sudah terbiasa menyerang Korut dan posisinya selalu berada di atas angin tetap tidak mau menggubris upaya pendekatan damai dari AS.
Korut bahkan makin meningkatkan ancamannya karena saat ini Korut sedang menyiapkan rudal balistik yang akan segera diluncurkan menuju daratan AS.
Dalam kondisi selalu mengancam itu maka Korut dan AS pun memang seperti di ambang peperangan.