Dataran-dataran yang subur melingkungi kaki gunung sebelah timur dan selatan.
Dalam bulan Juli 1822, air Sungai Cikunir berubah menjadi keruh keputih-putihan, bila didiamkan terlihat endapan putih, terasa pahit dan berbau belerang.
(Menurut pengamat alam terkenal F. Junghuhn, ini disebabkan oleh makin kuatnya uap asam belerang di daerah pegunungan yang dialiri sungai itu; air sungai mungkin mengandung tanah liat berasam belerang). Setelah lewat beberapa waktu, air menjadi jernih kembali.
Di tempat yang lebih tinggi, ke hilir, air sungai terasa lebih hangat daripada biasa.
Pada tanggal 8 Oktober, sekitar setengah dua siang, tiba-tiba terdengar dentuman kuat yang menggetarkan bumi — suatu letusan yang terdengar di seluruh Pulau Jawa.
Dari Gunung Galunggung terlihat gumpalan asap raksasa yang membubung ke angkasa dengan sangat pesat.
Gumpalan asap itu makin melebar, menutupi cahaya matahari, sehingga keadaan menjadi kelam kabut.
(Baca juga: Menggali Tenggelamnya Atlantis: Kunci Jawaban di Gunung Krakatau dan Teori Waktu yang Bertentangan)
Letusan-letusan susul-menyusul. Lahar yang dimuntahkan gunung dilontarkan tinggi-tinggi ke udara, lalu jatuh di tempat yang cukup jauh dari kawah gunung, bahkan ke seberang Citanduy, sampai ke desa-desa, yang jika diukur dengan garis lurus letaknya 10 pal (15 km) dari kawah.
Sungai Cikunir, Ciloseh, Ciwulan, dan Citanduy meluap menjadi aliran lahar besar yang menyeret dan mendorong rumah-rumah lengkap dengan penghuninya.
Penduduk Tasikmalaya dan Cidoyang melihat rumah-rumah lengkap dihanyutkan, yang di dalamnya masih ada penghuninya yang hidup, tetapi mereka tak mungkin menolong.
Lahar kelabu kebiru-biruan
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR