Kita baca pada Bataviasche Courant tanggal 23 November 1823, bahwa menurut suatu perhitungan yang dibuat sesaksama mungkin, 124 desa dihancurkan, dengan korban manusia sebanyak 5.083 orang.
Kecuali korban ternak yang mati, kerugian pada persawahan juga sangat berat. Jumlah pohon kopi yang musnah diperkirakan meliputi 1.668.000 batang.
Residen Priangan melapor kepada Gubernur Jenderal
Cianjur, 6 Februari 1823.
Saya mendapat kehormatan beberapa kali untuk menyampaikan laporan kepada Yang Mulia mengenai akibat-akibat menyedihkan daripada letusan Gunung Galunggung di Kabupaten Sumedang, pada tanggal 8 dan 12 Oktober tahun lalu.
(Baca juga: Memanen Rempah di Sejuknya Udara Kaki Gunung Rinjani)
Tujuan laporan-laporan itu ialah, agar Yang Mulia mengetahui tentang tindakan-tindakan saya dan memberikan keyakinan bahwa tak ada kelalaian di pihak saya sedapat mungkiri menolong atau mengurangi penderitaan penduduk yang tertimpa kemalangan.
(Berikut ini disarikan dari laporan residen yang panjang lebar dan terperinci itu):
Di tempat ini, kini terdapat jurang kawah, yang sebelum tahun 1822 merupakan sebuah lembah, seperti daerah-daerah tinggi lainnya, ditumbuhi hutan.
Sejak dahulu, penduduk daerah ini terbiasa dengan suara-suara di bawah tanah yang sekali-sekali terdengar.
Yang terhebat terdengar bersamaan dengan meletusnya Gunung Guntur (1815/16) yang jaraknya hanya 25 menit berjalan kaki.
Di antara sungai-sungai kecil yang bersumber di jurang Gunung Galunggung, terdapat Cikunir, yang bermuara di Sungai Ciloseh.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR