Find Us On Social Media :

Kampung Blangkon di Solo: Filosofi Moral Mendalam dan Eksistensinya Bagi Orang Jawa

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 30 Oktober 2018 | 19:30 WIB

 

Intisari-Online.com- Terdengar berkali-kali hantaman benda keras meninju tempurung kepala yang terbuat dari kayu di sebuah rumah di Potrojayan, Serengan, Solo, Jawa Tengah.

Ternyata di pelataran rumah terdapat puluhan kepala kayu menyerupai tengkorak manusia.

Sebagian dari kepala-kepala itu tertata rapi di rak dan sebagian lainnya tergeletak di lantai-lantai.

Ukuran kepala kayu juga bermacam-macam, yang oleh para pengrajin dipatenkan sebagai ukuran 4,5,6,7.. dan seterusnya.

Baca Juga : Ingin Tahu Penampakan Tugu Jogja Zaman Jadul? Inilah Potret Lawas 6 Tempat Terkenal di Indonesia

Ya, hantaman benda keras ini ternyata berasal dari tang yang dioperasikan pengrajin blangkon di kampung Potrojayan.

Untuk kepala dengan ukuran 4, itu memiliki arti keliling lingkar tempurung kepala berukuran 154cm.

Sedangkan ukuran 7 berarti lingkar kepala berukuran 157cm, dan seterusnya.

Baca Juga : Membelinya dengan Harga Rp1,77 Triliun, Lion Air Grup Pertama di Dunia yang Gunakan Boeing 737 Max 8

Desa ini sudah dikenal sebagai kampung blangkon dengan puluhan rumah yang menjadikan produksi blangkon sebagai mata pencaharian mereka.

Meski zaman telah memasuki era modern, nyatanya blangkon sebagai aksesoris pakaian masih diminati dan banyak dijual di pasaran.

Salah satu pelopor home industry ini adalah rumah produksi 'Kaswanto' keluarga pak Mawardi Nur Khayat.

Usaha itu mulai dijalankan pada tahun 1970an.

Baca Juga : Tato di Tubuh Pria Dayak yang Penuh dengan Filosofi Keberanian

Mawardi mewarisi usaha ini dari ayahnya yang dahulu juga mewarisinya dari sang kakek.

Usut punya usut, sang kakek dahulu adalah abdi dalem Kasunanan Solo bagian kesenian.

Tak hanya memproduksi blangkon khas Solo, kampung blangkon ini juga membuat blangkon khas Jogja, Sunda, Betawi, Madura, Ponorogo, dan masih banyak lagi.

"Setiap daerah punya ciri khasnya masing-masing," kata Mawardi menjelaskan.

Baca Juga : Bosan Makan Kacang Almon? Rupanya Ada 7 Jenis Kacang Lain yang Bisa Jadi Penggantinya lho!

"Di Solo sendiri dibagi menjadi dua, model Kasunanan dan Mangkunegaran, modelnya beda tapi bentuk depannya sama," imbuhnya.

Harga blangkon pun bermacam-macam, mulai dari paling murah sekitar Rp 10 ribu hingga yang paling mahal mencapai Rp 300 ribu tergantung bahan dan pembuatannya.

Untuk daerah pasaran pemesan blangkon, justru kebanyakan berasal dari luar Jawa Tengah.

Baca Juga : Bukan Apple, Google, Apalagi Facebook, Perusahaan Paling Bernilai Sepanjang Sejarah Itu Bernama VOC!

Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan menjadi daerah dengan permintaaan tingi.

Sedangkan untuk di Solo sendiri cenderung sepi karena tingginya persaingan dengan rumah produksi di kampung blangkon ini lainnya.

Sebagai pelopor usaha produksi blangkon, menjalarnya industri ini diawali dengan para bekas anak buah ayahnya yang mulai memisahkan diri guna mendirikan usaha serupa.

Hal itu selanjutnya menjamur hingga kampung Potrojayan menjadi sentra pengrajin blangkon seperti sekarang ini.

Baca Juga : Kisah Orang-orang Jawa di Suriname: Sempat Dianggap Bodoh, Pandir, dan Mudah Ditipu

Terkait sirkulasi distribusi penjualan blangkon, Mawardi mengatakan:

"Di seluruh dunia selama ada orang Jawa, orang Indonesia, di sana, dengan ciri khas blangkon, permintaan masih akan terus ada."

Sementara itu, beralihnya fungsi dan penggunaan blangkon yang sudah tidak sesuai pakem seperti pada zaman dahulu pun membuat Mawardi merasa perlu melestarikan kebudayaan ini.

Baca Juga : Pangan Lokal, Terdengar Kuno nan Tradisional, pada Amat Fungsional, Rugi Kalau Diabaikan

"Pemuda Jawa sekarang jarang yang bisa bahasa Jawa. Apalagi mengerti filosofi blangkon?" tanyanya.

Lebih lanjut, pria yang juga menjalankan usaha kuliner soto ini menjelaskan:

"Bagian dari blangkon ada yang namanya Wiru, ini sebagai kiasan yang menggambarkan bahwa pikiran manusia yang morat-marit harus ditutup."

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa intinya segala perilaku manusia yang tidak pantas harus diatur dan ditutup untuk kebaikan.

Baca Juga : Suku di Indonesia Ini Pernah Miliki Tradisi Penggal Kepala Manusia untuk Mas Kawin

Selain makna dari bentuk blangkon, motif-motif kain yang digunakan sebagai bahan dasar blangkon pun juga memiliki makna tersendiri.

Seperti misalnya motif modang atau lidah api yang bermakna sebagai penyemangat atau motif sido mukti dan wahyu tumurun yang diperuntukkan khusus bagi pengantin dengan makna menyerupai doa agar keluarga dapat sejahtera.

"Dari usaha blangkon, anak-anaknya bapak bisa kuliah semua," ucap Mawardi berkenaan dengan usaha ini.

Baca Juga : Di Kampung Sayur Bikin Laporan Keuangan Semudah Bermain Game

Begitupun Mawardi yang kemudian juga ikut mengelola dan menjadikan produksi blangkon ini sebagai mata pencaharian yang mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.

Sebagai usaha turun temurun, seluruh anggota keluarga ikut berperan aktif dalam pengembangan bisnis ini.

Hal itu secara tidak langsung juga telah membuatnya melestarikan blangkon sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa yang penuh makna dan filosofi.

Baca Juga : Erdogan Desak Arab Saudi Segera Ungkap Lokasi di Mana Sisa-sisa Potongan Tubuh Jamal Khashoggi Disembunyikan