Intisari-Online.com -Barangkali tak ada negara lain yang industri musiknya berkembang justru karena pelanggaran hak cipta kecuali Indonesia. Ya, sejarah industri musik yang bermula di awal abad ke-20 dalam kemasan piringan hitam, menjadi sangat marak justru setelah dikembangkan oleh para pembajak dalam format pita kaset.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital, kemudian berkembang bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Berikut ini cukilannya.
---
Tahukah Anda, komikus besar Jan Mintaraga adalah personel pertama Kus Bros, cikal bakal Koes Plus? Ya, Kus Bros, band yang didirikan pada 1959 itu mula-mula beranggotakan Jan (8 November 1941 – 14 Desember 1999), Djon Koeswoyo (1932), Yok Koeswoyo (1943), Yon Koeswoyo (1940), Nomo Koeswoyo, dan Tony Koeswoyo (19 Januari 1936 – 27 Maret 1987). Adikarso, pendiri OM Kelana Ria dan pencipta lagu Papaja Cha Cha Cha, mengajak mereka ke Irama.
Pada saat itu pembayaran royalti pada pencipta lagu berlangsung tertib. Itu terjadi karena peran Mas Yos berdasarkan pengalaman bisnisnya dengan perusahaan rekaman mancanegara seperti RCA, Polydor, dan Philips. Mas Yos selalu membayar royalti kepada pencipta lagu mancanegara yang lagunya direkam dan dijual di Indonesia. Cara yang sama dia terapkan kepada pencipta lagu dan penyanyi di dalam negeri.
Mas Yos menyarankan agar nama Kus Bros diubah menjadi Kus Bersaudara. Sukses. Tapi ketika peta politik berubah, Kus Bersaudara terkena dampak. Sentimen anti-Barat mendorong Pemerintah memberlakukan Penpres No. 11/1965 yang melarang musik ngak-ngik-ngok dari Inggris dan Amerika Serikat. Tony dan adikadiknya, yang masih sering membawakan lagu-lagu The Beatles, pada 29 Juni 1965 ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara Glodok. Kus Bersaudara, yang berubah menjadi Koes Bersaudara, mendekam sampai 27 September 1965.
Ketika Nomo Koeswoyo keluar dari Koes Bersaudara, masuklah Murry, mantan pemain drum Patas Band. Koes Bersaudara menjadi Koes Plus pada 1969.
Pada 29 Oktober 1955 pemerintah mendirikan perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta (Solo). Tujuannya semula adalah untuk merekam dan menggandakan PH bagi 49 studio RRI di seluruh Indonesia. Pada tahun 1961 ditetapkan sebagai perusahaan negara melalui PP No. 215/1961. Pada 1972, ketika pita kaset mulai menggantikan PH, perusahaan ini juga memproduksi kaset.
Ketika video mulai membudaya, Lokananta juga menggandakan video. Perusahaan rekaman dengan peralatan paling lengkap dan paling modern pada zamannya itu belakangan mengalami masa suram. Pada 1997 dinyatakan pailit, dan pada 18 Mei 2001 dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Perusahaan itu lantas ditempatkan di bawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Surakarta.
Lokananta berjasa melakukan dokumentasi kebudayaan dalam bentuk audio. Di sana paling tidak tersimpan sekitar 40.000 PH yang merupakan master rekaman musik, gending ataupun iringan tari. Juga ada rekaman pidato Presiden Soekarno di berbagai kesempatan.
Pada 1954, Republic Manufacturing Company Limited (Remaco) didirikan di Jakarta oleh Jan Tjia, pemilik National Plastic Company (Naplasco). Ketika ditangani sang pendiri, Remaco memproduksi lagu-lagu keroncong dan hawaiian. Saat pengelolaan diserahkan kepada Eugene Timothy, meluncur deras grup musik dan penyanyi pop dan dangdut.
Tahun 1955 berdiri pabrik PH Metropolitan dengan label rekaman Mutiara, Canary, Fontana, dan Bali Records. Selanjutnya beranakpinak menjadi Musica Studio’s, Ris Music Wijaya International, Hemagita, dan Warner Music Indonesia. Pemiliknya, Jamin Widjaya atau akrab dipanggil Amin Tjengli, adalah sahabat Bing Slamet sejak kecil.
Seniman serba bisa ini mengajak Jamin dan Idris Sardi membentuk grup musik. Lantas bergabung Ireng Maulana, Benny Mustafa, Itje Kumaunang, Darmono, dan Kamid membentuk band Eka Sapta yang siap memainkan jenis musik apa saja.
Amin Tjengli meninggal pada 22 Juli 1979 dalam usia 50 tahun. Lima tahun sebelumnya, Bing Slamet mendahului, demikian pula drummer Eddy Tulis. Eka Sapta seperti ayam kehilangan induk. Tapi Musica Studio’s terus berjaya di tangan istri Amin, Lanni Djajanegara, dan anak-anaknya, Sendjaja Widjaja, Indrawati Widjaja, Tinawati Widjaja, dan Effendi Widjaja.Artikel ini berjudul asli "Musik Indonesia: Beragam,Seragam, dan Bajak-membajak yang Kejam" ditulis oleh Mayong S. Laksono, pernah dimuat di Intisariedisi Februari 2014.