Find Us On Social Media :

Tan Malaka: Pahlawan Nasional yang Kesepian, Nasionalis Spesialis Bawah Tanah, dan Simpatisan Komunisme yang Aktif

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 19:45 WIB

Intisari-Online.com – Sosok Tan Malaka terasa remang-remang, dari awal hingga akhir.

Demi Indonesia merdeka, ia rela keluar-masuk berbagai negara agar tak ditangkap polisi rahasia Belanda.

la punya banyak nama alias, agar bisa berekspresi tanpa dicurigai.

la sempat tak dikenali rekan-rekan seperjuangannya, meski sudah bertahun-tahun kembali ke Indonesia.

Tan Malaka memang seorang pejuang spesialis bawah tanah, bahkan sampai akhir hayatnya.

Tulisan Purnawan Basundoro ini mengungkapkan bagaimana sepak terjang Tan Malaka, salah satu bapak bangsa negeri Indonesia ini, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2009, dengan judul Tan Malaka Spesialis Bawah Tanah.

--

Baca Juga : Tan Malaka, Pendiri Sekaligus ‘Korban’ PKI yang Pernah Memimpikan Bersatunya Kekuatan Islam

Pintu sejarah terbuka lebar bagi Tan Malaka pada Oktober 1913 ketika salah seorang gurunya, G.H. Horensma, di Kweekschool (Sekolah Guru) Fort de Kock (Bukitinggi) membawanya ke Belanda ketika sang guru mengambil cuti.

Di negeri yang sedang menjajah bangsanya itu, sang guru mencarikan dana untuk Tan Malaka. Tan Malaka pun memperoleh izin masuk sekolah guru lanjutan di Rijks Kweekschool Haarlem.

Awalnya Tan Malaka disalurkan untuk bisa mendapatkan dukungan dana dari lembaga-lembaga dana yang ada. Lembaga-lembaga ini bukan pemberi beasiswa, melainkan hanya membantu memperolehnya dan mengaturnya.

 Lembaga dana juga mengusahakan agar mahasiswa ditempatkan di tengah-tengah keluarga yang terpilih untuk memudahkan pengawasan. Mahasiswa penerima beasiswa diawasi secara amat ketat dengan disiplin militer. Salah seorang pengawasnya, Fabius, adalah mantan jenderal sehingga gaya pengawasannya sangat militeristik.

Baca Juga : Tan Malaka, Sosok Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Tan Malaka sering kali bentrok dengan Fabius, terutama jika pembicaraan menyinggung masalah politik. Bentrokan terulang beberapa kali sampai akhirnya bantuan beasiswa dihentikan.

Sebagai akibat, ia harus menanggung kondisi keuangan yang amat memprihatinkan yang membuat dia sakit-sakitan, selain menanggung banyak utang. Setelah dua kali gagal, baru upaya ketiga ia berhasil meraih hoofdakte (ijazah untuk menjadi kepala sekolah), karena sempat sakit dan motivasi menurun.

Utang menumpuk tidak memungkinkannya tetap tinggal di Belanda, sehingga tahun 1919 ia angkat koper untuk menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatra Timur.

Semasa Tan Malaka di Belanda, gagasan revolusioner kebetulan sedang tumbuh subur di seluruh kawasan Eropa. Ide-ide Karl Marx tentang komunisme sedang disemai dalam ujudnya yang praksis. Tidak jelas benar bagaimana ide-ide komunisme mulai menariknya, sampai ia menerjuninya secara praksis.

Baca Juga : Mulai dari Pattimura Hingga Tan Malaka, Inilah para Pahlawan Tanpa Makam di Indonesia

Yang jelas, di Belandalah minat politik Tan Malaka tergugah. la terbentuk menjadi nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus simpatisan komunisme yang aktif.

Tidak mengherankan pula betapa ia sangat tertarik dengan kemenangan Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Gagasan-gagasannya terbentuk antara lain di dalam kelompok diskusi yang ditokohi oleh Sneevliet, yang lalu dilahirkan kembali dalam bentuk artikel di koran.

Tan Malaka juga sempat menjadi  anggota Indische Inlichtingendienst (Dinas Penerangan Hindia) yang dibentuk oleh Sneevliet. Lembaga ini berperan sebagai pemberi informasi mengenai situasi di Hindia Belanda kepada koran-koran komunis dan para anggota parlemen Belanda.

Menggagas Persatuan Indonesia

Baca Juga : Pahlawan Nasional Tan Malaka; Menghilang Sampai Akhir Hayat

Selentingan tentang aktivitas Sarekat Islam (SI) yang sedang marak di Jawa bisa jadi terdengar di telinga Tan Malaka sehingga tahun 1921 ia tinggalkan gaji lumayan tinggi di perkebunan Senembah, Deli, Sumatra Timur, untuk berangkat ke Jawa.

la pun mulai mengenal Sarekat Islam melalui seorang sahabatnya, R. Soetopo, guru Sekolah Pertanian di Purworejo. Soetopo-lah yang membawa Tan Malaka ke kongres Centrale Sarekat Islam (CSI) di Yogyakarta, 2 - 6 Maret 1921.

Di tempat ini pula Tan Malaka bertemu dengan Semaoen, tokoh pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Semaoen sangat tertarik dengan Tan Malaka karena, konon, baginya Tan Malaka merupakan bumiputra terpelajar pertama yang mengenal dan akrab dengan marxisme.

Kongres CSI di Yogyakarta berlangsung dalam suasana persaingan antara SI dan PKI. (Seperti kita ketahui PKI lahir dari rahim Sarekat Islam dengan julukan "Sarekat Islam Merah")

Baca Juga : Sejarawan Belanda: Makam di Selopanggung Terbukti Makan Tan Malaka

Belakangan, hubungan antara SI dan PKI secara resmi terputus pada Kongres Luar Biasa CSI di Surabaya tanggal 6-10 Oktober 1921. Tan Malaka lebih condong ke PKI ketimbang dengan SI.

Sudah barang tentu kedatangan Tan Malaka ke Jawa bagi Semaoen merupakan siraman darah segar kepada PKI dalam konteks persaingan dengan SI untuk menarik pengikut. Semaoen kemudian meminta Tan Malaka untuk mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan doktrin Marxisme untuk anak-anak anggota SI.

Keberhasilan Tan Malaka dalam pendirian sekolah-sekolah Marxis inilah antara lain yang  melambungkan namanya sehingga terpilih menjadi Ketua PKI, menggantikan Semaoen pada Kongres PKI ke-8 di Semarang tanggal 25 Desember 1921. Semaoen sendiri akan berangkat ke Moskwa.

Pertentangan SI dan PKI semakin mengeras. Padahal sebenarnya Tan Malaka menghendaki  keduanya tetap bersatu karena hanya dengan cara itulah bangsa Indonesia bisa menghadapi tekanan dari penjajah.

Baca Juga : Lorong Masa: Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi

Seruan untuk bersatu menjadi tema besar kongres PKI ke-8 pada tanggal 25 Desember 1921 di Semarang. Sampai empat jam ia berpidato membela gagasan persatuan.

Persatuan juga merupakan garis yang sejak semula dianut oleh pendahulunya, Semaoen. Tan Malaka membandingkan sukses Kongres Nasional India dan gagalnya organisasi pergerakan Indonesia menggalang persatuan.

Akhirnya CSI sepakat untuk bekerja sama kendati hanya dalam program-program khusus. Kongres ditutup dengan mengirim telegram pernyataan dukungan kepada Kongres Nasional India.

Namun tidak lama setelah telegram terkirim, tanggal 13 Februari 1922 ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda di Bandung karena dianggap mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme.

Baca Juga : Tak Beda Jauh dengan Indonesia, Begini Negeri Jiran Malaysia Merayakan Kemerdekaannya

Dalam pengasingan

Maret 1922 ia berangkat kembali ke tempat pembuangannya, Belanda. Di sana sosoknya malah ditempatkan pada posisi amat tinggi sampai dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah - Red.) dari golongan komunis pada pemilu bulan Juli 1922 di Belanda. Namun usaha itu gagal.

Kemudian ia melangkah ke Jerman. Di negeri ini ia melamar menjadi anggota legiun asing tetapi ditolak. Di Berlin ia bertemu tokoh Partai Komunis Indonesia, Darsono. November 1922 Tan Malaka menghadiri Konferensi Komunis Internasional (Komintern) di Moskwa mewakili Partai Komunis Indonesia.

Di tempat inilah Tan Malaka semakin  menunjukkan kemahiran dan kematangannya dalam berpolitik.

la diangkat menjadi Wakil Komintern untuk Asia Timur dan mulai berkedudukan di Kanton pada Desember 1923. Di kota inilah ia menerbitkan Majalah The Dawn (Fajar) sebagai salah satu alat perjuangan partai komunis.

Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat

Di kota ini pula Tan Malaka pada tahun 1924 menulis buku Naar de Republiek Indonesia. Awal tahun 1926 ia masuk ke Singapura setelah sebelumnya singgah beberapa saat di Filipina untuk menyembuhkan penyakit paru-parunya.

Meski tinggal tak lama, di Filipina ia sempat menjadi koresponden El Debate. Di Singapura, ia menulis lagi buku lain, Massa Actie.

Kedua buku itu ternyata menjadi karya-karya monumental dan menjadi sumber inspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Bung Karno dan Anwari ke mana-mana selalu membawa buku tersebut. Dalam pledoinya di Landraad (pengadilan) Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip beberapa hal dari Massa Actie.

Buku tersebut juga mengilhami terciptanya frasa "Indonesia tanah tumpah darahku" dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Dari Singapura, Tan Malaka menyeberang ke Thailand, kemudian ke Filipina lagi. Namun di tempat ini ia tertangkap dan diusir keluar dari Filipina. Menumpang kapal Suzanna, Tan Malaka berlayar ke Shanghai.

Baca Juga : Runtuhnya Komunis di Rusia Menjadikan Ladang Obat Bius Potensial

Setelah berpindah-pindah tempat di seputar kawasan Asia, tanggal 10 Juni 1942 ia berlayar ke Medan dari Penang, Malaysia. Saat itu Indonesia sudah diduduki oleh Bala Tentara Jepang.

Seiama di pengasingan, hampir setiap pindah dari satu negara ke negara lain Tan Malaka mengganti nama samarannya. Di Filipina ia menggunakan nama Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera.

Di Singapura giliran nama Hasan Gozali yang dipakai. Pada tahun 1930 ketika berada di Shanghai ia mengaku bernama Ossario yang berprofesi sebagai wartawan Filipina untuk Majalah Bankers Weekly.

Bahkan ketika di Hongkong ia sempat memakai nama Ong Song Lee dengan 13 varian. Kembali ke Indonesia, ia gunakan nama llyas Hussein.

 Baca Juga : Runtuhnya Komunis Kebangkitan Mafia Rusia: Tanpa Memandang Derajat Kejahatan, bahkan Polisi pun Terlibat di Dalamnya