Jalan Hidup Sepak Bola Tan Malaka

Agus Surono
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Sejarawan Belanda: Makam di Selopanggung Terbukti Makan Tan Malaka
Sejarawan Belanda: Makam di Selopanggung Terbukti Makan Tan Malaka

Intisari-Online.com -Membicarakan sosok Tan Malaka seperti memasuki dunia misteri. Ia pahlawan nasional (melalui Ketetapan Presiden RI no 53 tanggal 23 Maret 1963), namun menurut sejarahwan Asvi Warman Adam, sejak 1965 namanya tidak ada lagi, meski gelarnya tidak pernah dicabut. Ya, sosok laki-laki kelahiran Suliki Sumatra Barat pada 2 Juni 1897 memang diidentikkan dengan tokoh kiri.

(Pahlawan nasional Tan Malaka, menghilang sampai akhir hayat.)

Makam Tan Malaka tidak diketahui secara pasti. Ia ditembak mati oleh Tentara Republik Indonesia pada 21 Februari 1949. Diduga ia dikuburkan di Kediri. Pada 2009, tim forensik yang didukung keluarga Tan Malaka telah selesai menggali kuburan yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di pemakaman umum di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri.

Penggalian dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan sejarawan Belanda Hary Poeze selama bertahun tahun terhadap tokoh komunis asal Sumatera Barat ini.

Tan Malaka lahir dengan nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur ini menamatkan Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913. Ia melanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda.

(Sejarawan Belanda, makam di Selopanggung, Kediri, terbukti makam Tan Malaka.)

Setelah lulus dari Rijks Kweekschool, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan mengajar di sebuah perkebunan di Deli, dari sinilah Tan Malaka menemukan ketimpangan sosial di lingkungan sekitar dan muncullah sifat radikal Tan Malaka.

Tan Malaka merupakan sosok yang memiliki sifat sosialis dan politis. Pada 1921 dia pergi ke Semarang untuk mulai menerjuni dunia politik. Kiprahnya dalam dunia politik sangat mengesankan. Hal ini didukung dengan pemikiran Tan Malaka yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

(Tan Malaka, tokoh sunyi di balik proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.)

Berbagai halangan dan rintangan yang dihadapi Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari penangkapan dan pembuangan di Kupang, pengusiran dari negara Indonesia, seringnya konflik dengan Partai Komunis Indonesia hingga pernah diduga kuat sebagai dalang di balik penculikan Sutan Sjahrir pada bulan Juni 1946.

Berbagai peran penting pun diraih Tan Malaka, di antaranya kepemimpinan dalam berbagai organisasi dan partai. Sempat mendirikan partai PARI pada 1927 dan Partai Murba pada 1948, hingga mendirikan sekolah serta mengajar di China pada 1936 dan sekolah tinggi Singapura.

Ada hal yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,dimana peranan Tan Malaka dalam mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah masa pendudukan Jepang agar mencetuskan "Revolusi" yang tepatnya pada tanggal 17 Agustus.

"Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah ilmu pasti itu. - Tan Malaka"

Terlepas dari sepak terjangnya di dunia politik, Tan Malaka ternyata seorang pemain sepak bola. Permainannya membuat penonton terpesona. Dalam buku karangan Arif Zulkifli berjudulTan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, ketika Tan Malaka berdomisili di Bayah, Banten(Juni 1943),ia sering membantu rakyat kecil lewat sepak bola.

Tan Malaka sering turun langsung ke lapangan untuk bermain sebagai pemainwinger, atau hanya sekadar menjadi wasit di kejuaraan Rangkasbitung. Selesai bermain, Tan yang dikenal selalu memakai celana pendek, helm tropis, dan tongkat itu biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.

Tan juga pernah mengaitkan pemikirannya dengan sepak bola. Seperti yang terkutip di buku Madilog yang terkenal itu, "Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak."

Bagi Tan Malaka, olahraga merupakan salah satu langkah untuk menunjukkan bahwa bangsanya juga manusia. Bersama dengan tokoh pergerakan nasional lainnya, melalui sepak bola mereka ingin menegaskan kemanusiaan bangsa Indonesia itu. Bagi mereka, olahraga itu adalah simbolisasi tekad mengangkat harkat martabat bangsa, bukan ajang pertarungan gengsi dari sejumlah pengurusnya yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan materi.

Kepiawaian Tan mengolah kulit bundar memperoleh arena ketika ia sekolah di Rijks Kweekschool di Harleem,Belandapada 1913. Meski tingginya hanya 165 cm, ia beberapa kali membuat rekan-rekannya kagum karena ketangkasannya menggiring bola.

Selama dua tahun (1914-1916) tinggal di Harleem, Tan Malaka sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang andal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan kerasnya meski bermain tanpa alas kaki.

Cuaca dingin diBelandatak menyurutkan kecintaannya terhadap sepak bola. Beberapa kali Tan Malaka sering mengabaikan peringatan rekan-rekannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Kakinya pun sering terluka lantaran tak bersepatu. Namun, dalam kondisi sakit seperti itu, nafsu bermain Tan tak padam.

Mencintai sepak bola tak membuat Tan Malaka lupa tugas utama, yakni memperjuangkan nasib Nusantara dari kolonialBelanda. Dalam perjalanannya, sejumlah perkembangan politik dunia dan perang yang berkecamuk telah memengaruhi pemikiran Tan. Tak jarang, pemikiran itu ia dapat saat berdiskusi di sebuah pondokan di Jacobijnesraat dengan pengungsi Belgia yang lari dari serbuan NaziJerman. Sepak bola pun beberapa kali dijadikan bahan obrolan saat meminum kopi.

Tiga tahun melalangbuana diBelanda, Tan kemudian memutuskan untuk kembali ke Nusantara pada 1919. Ia pulang dengan satu cita-cita, yaitu mengubah nasib bangsa Indonesia, termasuk dalam urusan sepak bola.

"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda. - Tan Malaka"

Tan Malaka kemudian bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli, Sumatra, bernama Senembah pada pertengahan 1919. Di daerah yang masih satu pulau dengan tanah lahirnya itu, Tan terenyuh karena masih banyak penduduk pribumi tidak hidup laik. Hal itu sangat kontras dengan kakayaan dan tanah Deli yang penuh akan sumber daya alam melimpah. Kekayaan itu akhirnya habis karena dihisap dan dikuras oleh pemerintah kolonial.

Pemandangan serupa pun terjadi dalam sepak bola Nusantara. Pada awal 1920-an, stigma kultural superioritas kolonialBelandamerasuk ke dalam olahraga yang paling populer di HindiaBelandaitu. Tak jarang ditemui palang peringatan bertuliskan "Verboden voor Inlanders en Houden" atau "Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing" di halaman depan sejumlah lapangan sepak bola. Tak sedikit pula orang pribumi harus gigit jari hanya untuk sekadar menyalurkan hobi sepak bola.

Beberapa klub seperti Setiaki, Ster, dan Den Bruinen di Batavia adalah saksi atas politik klasifikasi kelas yang merambah ke urusan sepak bola. Sejumlah klub itu sering berinteraksi dengan sejumlah tokoh pergerakan seperti Bung Hatta, Soekarno, Sjahrir, MH Thamrin, dan juga Tan Malaka. Semangat Sumpah Pemuda kemudian dijadikan alat untuk mendorong pemuda bergabung melawan kebusukan NIVB (Nedherlands Indish Voetbal Bond) milikBelanda.

Pada masa itu, Tan Malaka memang tidak berada di dalam negeri. Ia diusir dari Indonesia dan dibuang ke Amsterdam, lantaran aktif dalam gerakan komunis dan Islam untuk menghadapi imperialismeBelandapada Mei 1922. Kurang lebih selama 20 tahun, Tan mengembara di negeri seberang. Beberapa negara ia singgahi, sejumlah nama samaran pun ia pakai untuk mengelabui para intel polisi.

Meski berada di negeri orang, Tan tidak pernah melupakan leluhur karena kecintaannya terhadap sepak bola tak luntur. Di negeri seberang, ia pun mengikuti perkembangan kabar kesuksesan pemuda Nusantara mengangkangi pemerintah kolonialBelandadalam hal sepak bola. Ketika itu, Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI) di bawah pimpinan Ir Soeratin Sosrosoegondo mampu membuktikan sepak bola Nusantara dapat unjuk gigi tidak hanya kepadaBelanda, tetapi kepada dunia.

Pada era 1930-an, Nusantara berhasil menduduki posisi elite sepak bola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia), Burma (Myanmar), danIran. Dengan memakai nama HindiaBelanda, Nusantara menjadi tim sepak bola Asia pertama yang tampil dalam Piala Dunia 1938. Melihat kesuksesan itu Tan jelas bangga karena sepak bola mampu bertransformasi bukan hanya sekadar produk kebudayaan, tetapi juga produk politik, yang di dalamnya erat persoalan identitas dan spirit kebangsaan Indonesia.

Bahkan, ketika kembali ke tanah air dan menetap di Bayah,Bantenpada 1943, Tan Malaka masih tetap mencintai sepak bola. Ketika itu, Tan memakai nama samaran, Ilyas Hussein. Di daerah yang ditakuti, termasuk oleh tentaraJepang, karena mewabahnya penyakit kudis, disentri, dan malaria, pribumi hidup sengsara dengan menjadiRomusha. Ketakutan itu tidak menghinggapi Tan. Ia tetap berjuang, agar pribumi tidak berkecil hati.

Melihat sepenggal fakta sejarah ini, Tan Malaka memang tak berjuang secara langsung membela Nusantara di kancah sepak bola. Namun, ia mengerti menjadi pecinta sepak bola yang paham bahwa olahraga itu merupakan jati diri bangsa. Tak jarang pula dalam beberapa pemikirannya, Tan menghubungkan hal-hal kecil dalam olahraga tersebut yang dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat.

Artikel Terkait