Advertorial
Intisari-Online.com – Tanggal 31 Agustus, di tahun 1957, adalah saat Malaysia merdeka dari Inggris. Mari kita simak tulisan Nour M. Adriani bagaimana Malaysia merayakan kemerdekaan mereka, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2016
Bus yang saya tumpangi dengan biaya sepuluh ringgit itu mengambil jalur cepat di Lebuhraya, meninggalkan terminal internasional lapangan terbang antarbangsa Kuala Lumpur.
Lewat jendela terlihat beberapa orang pekerja tampak sibuk memasang dekorasi dengan pola merah, putih, biru, dan kuning – khas bendera kebangsaan – di area kedatangan bandara.
Stasiun radio lokal sejurus kemudian memutar lagu pop Indonesia berjudul Kehilangan yang dipopulerkan oleh penyanyi, Firman Idol. Dua lagu Indonesia lain yang cukup populer menyambung sebelum beralih ke lagu pop Malaysia, mengantar perjalanan saya menuju stasiun sentral Kuala Lumpur (KL).
Baca juga: Raja Malaysia Kembalikan Dana Perayaan Ulang Tahunnya Demi Bantu Negaranya Bayar Utang
Perjalanan ke negeri jiran di pertengahan Agustus 2014 dalam rangka menghadiri Konferensi Sejarawan Asia ke-23 itu, sengaja saya nikmati dengan lebih menantang.
Semua moda transportasi saya coba, dari bus, taksi, monorel, komuter, sampai kereta api dan ferry. Hampir sepanjang kawasan pantai barat dari mulai Bukit Kayu Hitam di perbatasan Thailand, sampai Singapura, saya jajal lewat jalur darat.
Sepintas tidak ada yang berbeda dengan keadaan di Tanah Air. Pemandangan kiri-kanan Lebuh-raya atau jalan tol north-south tak ubahnya jalan tol Cikampek-Padalarang, diselingi kebun-kebun sawit khas Jalan Lintas Timur Sumatra.
Kereta Tanah Melayu (KTM) kelas superior bahkan tidak berbeda dari Argo Parahyangan Bandung-Jakarta. Ongkos KL-Alor Setar, RM 39 atau sekitar Rp140 ribu. Yang berbeda, jika diamati banyak kemajuan pembangunan, khususnya kawasan perkotaan dan industri.
Kehidupan di pedesaan masih seperti layaknya perkampungan di Indonesia, namun terkesan lebih rapi dan tertata.
Mahasiswa Indonesia semakin banyak
Meskipun baru tanggal 20-an, seluruh negeri agaknya sudah bersiap-siap menyambut hari kemerdekaan. Serupa dengan di Indonesia, bendera dan umbul-umbul berjejer mencolok di setiap sisi jalan juga di tempat-tempat publik.
Alor Setar, ibukota negara bagian Kedah di bagian utara Malaysia, terbilang kota kecil, seperti Cianjur atau Sukabumi di Jawa Barat. Menara Alor Setar, monumen setinggi 165 m di pusat kota adalah bangunan tertinggi yang menjadi landmark kota.
Baca juga: Takut Rugi, Malaysia Mohon Indonesia Batalkan Rencana Hentikan Pengiriman TKI
Mengenai kebersihan dan kerapian, sekali lagi, kita masih tertinggal!
Saya mengakali keterbatasan dana dengan menyewa sebuah rumah warga, alias home stay, tidak jauh dari Bandara Sultan Abdul Halim. Ide itu saya dapatkan dari seorang mahasiswa Universiti Utara Malaysia (UUM) asal Indonesia, yang saya kontak lewat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia.
“Agak mahal, RM450, mintanya,” kata Aji, pengurus PPI Malaysia.
Belakangan, setelah dihitung-hitung ternyata biaya sebesar itu super murah. Rumah dengan tiga kamar besar, hanya RM450 untuk lima hari. Cukup untuk enam bahkan sepuluh orang. Artinya, RM5 atau Rp17 ribu per hari. Padahal, untuk penginapan biasa rata-rata di atas RM30 semalam.
Baca juga: Proyek Kereta Malaysia Kacau, Kereta Indonesia Malah Makin Mewah
Salah satu kemajuan negeri jiran adalah di bidang pendidikan. Indikator itu setidaknya dapat dilihat dari banyaknya universitas mereka yang masuk peringkat dunia. Jumlah mahasiswa Indonesia di Malaysia, tiap tahun semakin meningkat.
Aji, yang juga menjabat ketua senat mahasiswa fakultas internasional, mengajak saya mengunjungi kampusnya, di UUM.
Jalan mulus dua lajur yang sepi kiri dan kanannya dikelilingi pohon-pohon yang lebat. Universitas itu memang didirikan di luar bandar atau kota, hampir semua mahasiswa diasramakan di dalam kompleks kampus.
“Pekan ini kampus sepi, masih masa libur,”katanya. Lebih dari 500 mahasiswa Indonesia studi di UUM, belum lagi kampus-kampus lainnya. Terbayang kisah yang pernah saya dengar, dulu tahun 1960-an negeri kita yang mengirim guru ke sana, menjadi cikgu-cikgu yang dihormati.
Banyak keturunan Indonesia
Setelah seminggu kegiatan delegasi di Kedah resmi selesai, saya dan rekan-rekan mengunjungi Malaka yang jaraknya 150 km arah selatan dari KL. Dari Putrajaya Sentral, tambang atau tarif bus rata-rata RM12,50. Di sinilah sejarah Melayu klasik yang masyhur itu dimulai.
Malamnya, ketika berjalan-jalan di sekitar Dataran Pahlawan, seketika haus terasa. Kontan saya mendekati salah satu warung mobil yang menjual minuman dan makanan ringan. “Berapa, encik?” tanya saya.
“Dua ringgit, je. Adik ni asal mane?” katanya. “Saya dari Indonesia, encik”. Encik artinya bapak atau panggilan umum untuk laki-laki. “Oh, kakek saya pun dari Indonesia”, katanya lagi. Ahmad namanya, ia orang Melaka, tetapi berdarah Sumatra.
Baca juga: Bonus Atlet Indonesia di Asian Games 2018 Bikin Orang Malaysia Iri Hati, Duh!
Perkenalan singkat itu mengingatkan saya pada beberapa peserta konferensi di Kedah, mereka warga Melayu Malaysia. Ada yang keturunan Minang, Aceh, Jawa, bahkan Bugis.
Lahir pada bulan yang sama dengan Indonesia, Malaysia (Malaya pada awalnya) sejak tahun 1957 memperingati kemerdekaan dengan bersuka ria. Inggris sebagai penguasa kolonialnya masa itu, meninggalkan Malaya dengan damai.
Wakil Ratu Inggris sendiri hadir menyerahkan watikah atau akta kemerdekaan di Stadium Merdeka.
Sebagian dari perjalanan kemerdekaan negara dapat disaksikan di Muzium UMNO, tidak jauh dari Benteng A Formosa, Kota Melaka, bersama jajaran museum lain seperti Museum Seni Bina, Museum Islam Malaka, Museum Rakyat, Museum Setem (Pos), sampai Museum Dunia Melayu Dunia Islam di sepanjang Jalan Kota.
Tradisi yang diwariskan kemudian yaitu kemeriahan perlombaan, penampilan seni, dan pertunjukan-pertunjukan pada akhir bulan Agustus setiap tahunnya.
Festival kebangsaan
Pusat kota Melaka yang bersejarah dapat dicapai dalam sepuluh menit dari motel tempat kami menginap. Kami berkeliling kota dengan berjalan kaki siang itu.
Selepas alun-alun Bovenkerk atau gereja Kristus – wilayah tinggalan Belanda dengan bangunan-bangunan berwarna merah bata – beberapa polisi sibuk mengatur lalu lintas di persimpangan.
Baca juga: Kurs Ringgit Juga Anjlok, Ekonomi Malaysia Melemah, Ekonomi Indonesia Kok Malah Tumbuh Pesat?
Sejurus kemudian tampak barisan pasukan beriringan melintas, terdiri dari tentara, polisi, pelajar, sampai pegawai-pegawai dinas pemerintah, lengkap dengan marching band masing-masing kesatuan. Mereka sedang berlatih untuk parade tingkat negeri atau negara bagian esok hari.
Kami kembali ke Kuala Lumpur di sore hari tanggal 30 Agustus. Radio yang disetel sopir bus tak hentinya memutar lagu-lagu bertema patriotik. Sadar para penumpang mungkin terganggu, ia mengecilkan volumenya.
Pagi itu, Chinatown KL tampak sepi. Kebanyakan toko masih belum buka, padahal mereka menggelar dagangan sampai larut sekali tadi malam. Kami sudah berniat ingin menyaksikan perayaan kemerdekaan tingkat nasional yang dipusatkan di Dataran Merdeka, sejenis alun-alun kota.
Dari Chinatown jaraknya hanya 1 km, cukup berjalan sekitar 10 menit. Sepanjang jalan, bendera nasional terlihat di mana-mana, mulai yang menjulur di tiap bangunan, tiang-tiang bendera, sampai potongan kecil yang melintang zig-zag di atas jalan.
Baca juga: Negeri Sembilan Malaysia Tenyata Mengadunya ke Minangkabau Juga
Arena sekitar lapangan sudah penuh sesak. Rupanya warga sudah sejak pagi memadati area itu. Beberapa petugas membagikan air kemasan gratis.
Hampir tidak ada formalitas, selain pemeriksaan pasukan ketika Yang di-Pertuan Agong, atau raja tiba, diikuti lagu kebangsaan dan pembacaan Ikrar Rukun Negara, semacam Pancasila di negara kita.
Tak sampai setengah jam, acara protokoler selesai. Sekitar dua jam berikutnya diisi oleh tampilan-tampilan seni, ditutup dengan parade militer, lengkap dengan tank dan senjata tempur lainnya.
Sebuah “rahasia umum”
Baca juga: Mega Proyek Malaysia-China Bikin Makin Bangkrut, Inilah Kebijakan yang Diambil PM Malaysia
Malaysia adalah negara multietnis. Meski tidak sebanyak bilangan etnis di Indonesia. Inggris semasa memerintah dulu, mendatangkan banyak tenaga kerja dari Tiongkok dan India, untuk mengolah perkebunan, tambang, dan menjalankan ekonomi.
Hal Ini ternyata menyebabkan kecemburuan sosial. “Itu dah public secretlah,”, kata seorang mahasiswi di Kuala Lumpur kepada saya.
Seminggu sebelumnya, jamuan yang diselenggarakan Menteri Besar Kedah di Seri Mentaloon (rumah dinas) belum dimulai ketika delegasi kami tiba. Kami memilih meja bundar di bagian tengah aula dan berkenalan, beliau seorang guru dari Malaysia Timur.
Dari tampilannya beliau bukan dari suku Melayu. Ketika kemudian meja kami telah penuh dengan peserta lain dari Indonesia dan Malaysia, beliau tampak sedikit canggung, kemudian pamit.
Saya memperhatikan ia mengambil kursi di tempat lain, yang terlihat lebih banyak diisi sesama komunitasnya.
Nazir, juru kamera tuan rumah yang selama kegiatan cukup kenal dekat melihat keheranan saya, dia melirik dan berkata, “You know, lah…”.
Selamat Merayakan Hari Kemerdekaan untuk Malaysia!
Baca juga: Parah, Gara-gara Salah Negosiasi Mega Proyek dengan China, Malaysia Makin Bangkrut!