Find Us On Social Media :

Tan Malaka: Pahlawan Nasional yang Kesepian, Nasionalis Spesialis Bawah Tanah, dan Simpatisan Komunisme yang Aktif

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 19:45 WIB

Baca Juga : Tak Beda Jauh dengan Indonesia, Begini Negeri Jiran Malaysia Merayakan Kemerdekaannya

Dalam pengasingan

Maret 1922 ia berangkat kembali ke tempat pembuangannya, Belanda. Di sana sosoknya malah ditempatkan pada posisi amat tinggi sampai dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah - Red.) dari golongan komunis pada pemilu bulan Juli 1922 di Belanda. Namun usaha itu gagal.

Kemudian ia melangkah ke Jerman. Di negeri ini ia melamar menjadi anggota legiun asing tetapi ditolak. Di Berlin ia bertemu tokoh Partai Komunis Indonesia, Darsono. November 1922 Tan Malaka menghadiri Konferensi Komunis Internasional (Komintern) di Moskwa mewakili Partai Komunis Indonesia.

Di tempat inilah Tan Malaka semakin  menunjukkan kemahiran dan kematangannya dalam berpolitik.

la diangkat menjadi Wakil Komintern untuk Asia Timur dan mulai berkedudukan di Kanton pada Desember 1923. Di kota inilah ia menerbitkan Majalah The Dawn (Fajar) sebagai salah satu alat perjuangan partai komunis.

Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat

Di kota ini pula Tan Malaka pada tahun 1924 menulis buku Naar de Republiek Indonesia. Awal tahun 1926 ia masuk ke Singapura setelah sebelumnya singgah beberapa saat di Filipina untuk menyembuhkan penyakit paru-parunya.

Meski tinggal tak lama, di Filipina ia sempat menjadi koresponden El Debate. Di Singapura, ia menulis lagi buku lain, Massa Actie.

Kedua buku itu ternyata menjadi karya-karya monumental dan menjadi sumber inspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Bung Karno dan Anwari ke mana-mana selalu membawa buku tersebut. Dalam pledoinya di Landraad (pengadilan) Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutip beberapa hal dari Massa Actie.

Buku tersebut juga mengilhami terciptanya frasa "Indonesia tanah tumpah darahku" dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Dari Singapura, Tan Malaka menyeberang ke Thailand, kemudian ke Filipina lagi. Namun di tempat ini ia tertangkap dan diusir keluar dari Filipina. Menumpang kapal Suzanna, Tan Malaka berlayar ke Shanghai.

Baca Juga : Runtuhnya Komunis di Rusia Menjadikan Ladang Obat Bius Potensial

Setelah berpindah-pindah tempat di seputar kawasan Asia, tanggal 10 Juni 1942 ia berlayar ke Medan dari Penang, Malaysia. Saat itu Indonesia sudah diduduki oleh Bala Tentara Jepang.

Seiama di pengasingan, hampir setiap pindah dari satu negara ke negara lain Tan Malaka mengganti nama samarannya. Di Filipina ia menggunakan nama Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera.

Di Singapura giliran nama Hasan Gozali yang dipakai. Pada tahun 1930 ketika berada di Shanghai ia mengaku bernama Ossario yang berprofesi sebagai wartawan Filipina untuk Majalah Bankers Weekly.

Bahkan ketika di Hongkong ia sempat memakai nama Ong Song Lee dengan 13 varian. Kembali ke Indonesia, ia gunakan nama llyas Hussein.

 Baca Juga : Runtuhnya Komunis Kebangkitan Mafia Rusia: Tanpa Memandang Derajat Kejahatan, bahkan Polisi pun Terlibat di Dalamnya