Find Us On Social Media :

Apa Pentingnya Konsep Negara Kesatuan yang Ditekankan oleh Soekarno dalam Sidang BPUPKI?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 14 Oktober 2024 | 09:52 WIB

Artikel ini tentang apa pentingnya konsep negara kesatuan yang ditekankan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI. Semoga bermanfaat.

Artikel ini tentang apa pentingnya konsep negara kesatuan yang ditekankan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI. Semoga bermanfaat.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memainkan peran sentral dalam mengonsep bentuk negara Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah dasar negara.

Salah satu hal yang dicetuskan di sana adalah konsep negara kesatuan Republik Indonesia oleh Soekarno. Apa pentingnya konsep negara kesatuan yang ditekankan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI?

Mengutip Kompas.ID, pembahasan tentang bentuk dan wilayah negara memang dibahas pada sidang kedua BPUPKI pada 10 dan 11 Juli 1945. Meski begitu, obrolan tentang itu sejatinya sudah terjadi sejak sidang pertama, yaitu pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Misalnya pidato Mr Mohammad Yamin yang mengatakan, "...dasar-dasar yang kita perbincangkan memberi dorongan kepada kita bahwa negara yang akan dibentuk ialah: Suatu Negara Rakyat Indonesia yang tersusun dalam suatu Republik Indonesia..."

Belum lagi pidato Soepomo pada 31 Mei: "Tentang persatuan negara atau negara serikat atau tentang republik atau monarki, itu sebetulnya menurut pendapat saya, soal bentuk susunan negara...."

Baca Juga: Profil Anggota BPUPPKI: Dr. Sukiman Wirjosandjojo Yang Dikenal Keras Terhadap Komunis

Soepomo juga menambahkan: "...Saya mufakat dengan pendapat yang menyatakan: pada dasarnya Indonesia, yang harus meliputi batas Hindia Belanda. Akan tetapi jikalau misalnya daerah Indonesia lain, umpamanya negeri Malaka, Borneo Utara hendak ingin juga masuk lingkungan Indonesia, hal itu kami tidak keberatan...."

Ini wacana wilayah Indonesia menurut Yamin: seluruh Jawa, seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan, seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), seluruh Nusa Tenggara, seluruh Sulawesi, seluruh Maluku, dan seluruh Papua.

Tapi yang paling diingat tentu ketika Karno pada sidang kedua BPUPKI, tepatnya pada 10 Juli 1945, mengusulkan salah satunya, agar sidang juga menentukan bentuk negara dan menyusun hukum dasar negara.

Sebagai bahan pembicaraan sidang tersebut, panitia kecil yang diketuai Soekarno sebelumnya telah membentuk panitia kecil lain yang menghasilkan usulan rancangan pembukaan (preambule) undang-undang. Dalam rancangan pembukaan tersebut, disebutkan, "...disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia..."

Usulan panitia kecil tersebut lantas ditanggapi oleh sidang BUPKI, terutama penggunaan istilah republik bagi negara Indonesia karena belum menjadi keputusan sidang besar. Salah seorang anggota BPUPKI, Wongsonegoro, menanggapi penggunaan istilah republik dalam preambule yang diusulkan panitia kecil.

Dia mengatakan, "Ada sebuah perkataan di dalamnya yang menurut keyakinan, barangkali dapat bertentangan dengan perasaan rakyat, yaitu perkataan ‘republik’..."

Pendapat lain dimunculkan oleh Ki Bagus Hadikusumo, yang mengatakan, sidang tidak perlu terlalu mendiskusikan pilihan bentuk republik atau kerajaan karena hanya akan menimbulkan pertentangan. "Hendaknya tujuannya saja yang diambil, dan jangan ditambah dengan republik yang tidak tuan sukai. Gambarkan saja apa yang tuan sukai yaitu bahwa negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat..."

Di sisi lain, muncul pendapat dari Susanto. Ia menjelaskan bahwa rakyat kebanyakan tidak mengenal bentuk republik, tetapi negara harus segera dibentuk. Oleh karena itu, dia menyatakan, "Untuk menjamin persatuan, kami merancangkan...bentuk negara yang tidak disebut republik..."

Pendapat yang mendukung bentuk kerajaan dikemukakan oleh PF Dahler. Dia menegaskan bahwa dirinya adalah seorang republikan sejati. Namun dia memilih bentuk kerajaan bagi negara Indonesia merdeka dengan menimbang bahwa rakyat Indonesia masih bertalian teguh dengan adat istiadat dahulu.

"Saya minta bentuk negara itu hendaknya kerajaan. Jadi kalau sekarang bangsa Indonesia sendiri dengan keyakinan tentang haknya sendiri akan meminta bentuk republik, tentu tidak sekali-kali akan saya larang. Malahan dengan segala tenaga akan saya sokong dan dorong."

Mengulangi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, pada sidang ini pula, Muhammad Yamin menegaskan kembali bentuk republik. Dia menyatakan, "Saya yakin bahwa rakyat Indonesia menghendaki republik dan republiklah yang memberi jiwa kepada bangsa Indonesia, bukannya bentuk lain yang mana pun."

Pertimbangan lain dimunculkan oleh Singgih. Baginya, bentuk negara bukan hal yang penting bagi negara Indonesia karena bentuk adalah bahan mati. Yang lebih penting adalah yang menjiwai bentuk itu, yakni pemimpinnya, kepala negara.

Dia pun mengusulkan: "Jadi apakah dipilih bentuk monarki atau republik, atau bentuk lain dengan memakai nama Kepala Negara, itu baiklah diserahkan kepada suara rakyat."

Sukardjo Wirjopranoto memberi pertimbangan perlunya penggunaan istilah tegas sejak awal tentang bentuk negara. "Jika sekarang ini kita sudah dipersoalkan bentuk republik atau monarki, kita harus mengeluarkan suara kita, harus memilih satu dari dua, saya sendiri akan memilih bentukan republik!"

Lalu Sukiman, "Kalau pimpinannya tidak turun-temurun, sesungguhnya negara itu sudah bukan lagi berprinsip kerajaan, akan tetapi sudah memakai prinsip republik."

Ada juga yang menggunakan sudut pandang Islam, di antaranya adalah Haji Ah Sanusi. "Membangun negara kerajaan adalah sangat berat karena bilamana seseorang diangkat menjadi raja, dia sudah menjadi wakil mutlak daripada Tuhan. Oleh karena itu seperti sudah saya tinjau, mudah-mudahan kemungkinan yang begitu ditiadakan.”

Setelah mendengarkan berbagai pendapat di atas, ketua sidang sekaligus ketua BPUPKI, Radjiman Wediodiningrat, memutuskan untuk mengadakan pemilihan tentang bentuk negara secara voting, atau dalam istilah Dokter Radjiman setem. Pemilihan dilakukan secara tertulis dengan kertas tanpa harus ditandatangani, kemudian dikumpulkan dan dihitung.

Sebagai komisi pemilihan, Wakil Ketua BPUPKI Suroso, menugaskan Abdulrahim Pratalykrama, Ah Sanusi, dan AM Dasaad. Dasaad diminta menjadi ketua panitia pemilihan. Sebelum melakukan pemilihan, anggota AK Muzakkir mengusulkan agar para anggota mengheningkan cipta karena pemilihan bentuk negara dianggap sebagai saat yang penting.

Usul tersebut disetujui oleh ketua sidang dengan meminta Ki Bagus Hadikusumo untuk memimpin doa.

Setelah dikumpulkan dan dihitung, ketua komisi pemilihan, Dassad, mengumumkan bahwa terdapat 64 suara yang terkumpul. Dari jumlah tersebut, sejumlah 55 suara memilih bentuk negara republik, enam suara memilih bentuk negara kerajaan, dua suara memilih bentuk lain-lain, dan satu suara blangko (kosong).

Ketua sidang, Radjiman, mengulangi hasil pemilihan tersebut sehingga bentuk negara republik menjadi keputusan sidang.

Dalam sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 dibahas pula tentang batas wilayah negara Indonesia. Sebelum dijadikan topik bahasan dalam sidang, Mohammad Hatta menyatakan bahwa batas negara tidak perlu dibahas dalam Undang-Undang Dasar.

Pendapat tersebut didukung oleh Soekarno. Pendapat lain disampaikan oleh Ah Sanusi dengan menyerahkan perlu tidaknya topik batas negara dibahas pada panitia.

Menurut Wurjaningrat, sebenarnya, batas-batas negara sudah pernah dibicarakan dalam sidang yang pertama, antara lain Hindia Belanda. Namun, sidang pertama BPUPKI belum menghasilkan suatu keputusan.

Anggota AK Muzakkir mengusulkan untuk memasukkan tanah Melayu dan Papua dalam tanah air Indonesia. Akan tetapi, dia juga menyatakan bahwa dalam menentukan wilayah Indonesia Merdeka, "Janganlah didasarkan pada soal apakah kita sanggup atau tidak sanggup, tetapi pula apakah akan timbul kesanggupan akan merdeka atau tidak."

Sebagai bahan pertimbangan sidang, Muhammad Yamin mengulangi pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945. Menurutnya, wilayah Indonesia adalah:

"Daerah kepulauan delapan dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, yaitu: Sumatera dan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Melaju dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Borneo dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Jawa dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Sulawesi dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya, Sunda Kecil dengan pulau-pulau kecil sertanya, Maluku dengan pulau-pulau kecil di antaranya, dan Papua dengan pulau-pulau kecil sekelilingnya."

Anggota Abdul Kaffar menyetujui usulan yang disampaikan oleh Yamin. Namun, sebagai seorang yang berlatar belakang militer, dia juga mempertanyakan ada tidaknya penjagaan terhadap terhadap daerah-daerah yang telah disebutkan oleh Yamin.

Selanjutnya, dia menyatakan, "Alangkah baiknya bila penetapan batas negara ini kita serahkan kepada panitia."

Pertimbangan lain muncul dari Sumitro Kolopaking. Menurutnya, yang terpenting adalah supaya selekasnya Indonesia merdeka. Oleh karena itu, persoalan daerah juga harus masuk dalam urusan panitia kecil yang merancang Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka demi mempercepat pekerjaan.

"Indonesia Merdeka ialah seluas Indonesia Belanda dahulu," usulnya. Selanjutnya, apabila ada permintaan dari Malaya Selatan dan Borneo Utara masuk ke wilayah Indonesia, perlu diterima.

Penetapan wilayah dan batas negara tak juga diputuskan hingga sidang berakhir pada pukul 18.00. Ketua sidang memutuskan bahwa pembahasan batas negara akan dilanjutkan pada sidang hari berikutnya. Rangkaian sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 dibuka pukul 10.50. Pada awal sidang, Ketua Radjiman mempersilakan beberapa orang untuk menyampaikan pendapatnya.

Giliran pertama adalah Mohammad Hatta. Dia menyatakan bahwa batas negara bukanlah suatu soal yang dapat ditetapkan secara eksak, tetapi disesuaikan dengan tujuan yang tepat. Usulnya, wilayah Indonesia adalah "Lingkungan Indonesia yang dahulu dijajah oleh Pemerintah Belanda."

Di luar wilayah tersebut, apabila ingin masuk atau diserahkan kepada Indonesia, akan diterima dengan tangan terbuka.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Soekarno. Menurut Soekarno, dirinya tidak pernah menuntut bahwa Indonesia itu hanyalah Hindia Belanda. Menurutnya, Jepang tak pernah menyatakan bahwa Indonesia (To Indo) adalah Hindia Belanda.

Malahan, Jepang menanyakan, apakah daerah To Indo itu? Dengan alasan tersebut, Soekarno menyatakan, "Saya setuju sekali dengan pendirian anggota yang terhormat Mr. Yamin kemarin."

Pendapat Soekarno di atas ditegaskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, yang menambahkan bahwa wakil-wakil rakyat di Malaya berpesan supaya kalau Indonesia Merdeka, "Malaya dimasukkan dalam daerah Indonesia."

Selain itu, agar kemudian tidak menjadi pertikaian, Sutardjo berpendapat, Papua hendaknya dimasukkan dalam daerah Indonesia."

Anggota lain yang berbicara adalah Haji Agus Salim. "Bahwa daerah Indonesia Merdeka pertama-tama ialah segala daerah Hindia Belanda Timur yang telah dibebaskan oleh Dai Nippon daripada kekuasaan Belanda," usulnya.

Di luar itu, daerah lain akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Indonesia merdeka dengan syarat, "Apabila suara rakyat daerah-daerah itu menyatakan kehendaknya masuk ke dalam Indonesia."

AA Maramis memberikan pertimbangan lain dalam menetapkan wilayah negara Indonesia merdeka. "Kita tidak hanya harus melihat kepada sejarah bangsa Indonesia, tetapi kita harus melihat juga kepada hukum internasional."

Pendapat lain disampaikan oleh Ah Sanusi. Menurutnya, sidang harus mengurungkan ketetapan batas negara hingga waktu peperangan selesai.

Setelah mendengarkan berbagai pendapat, Ketua Radjiman meminta untuk segera diadakan voting. Yang diusulkan untuk divoting adalah: Pertama, Hindia Belanda dahulu. Kedua, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya. Ketiga, Hindia Belanda dahulu, ditambah Malaka dipotong Papua.

Wakil Ketua Suroso menunjuk Otto Iskandardinata, Abikusno Tjokrosujono, dan J Latuharhary sebagai anggota komisi pemilihan.

Setelah dikumpulkan, terdapat 66 suara, di antaranya sejumlah 39 suara memilih nomor 2, sejumlah 19 suara memilih nomor 1, sejumlah 6 suara memilih nomor 3, sejumlah 1 suara memilih lain-lain, dan 1 suara blangko (kosong).

Dengan demikian, Ketua Sidang Radjiman menyampaikan, “Yang diputuskan, yang disahkan hari ini oleh persidangan, yaitu bahwa daerah yang masuk Indonesia Merdeka: Hindia Belanda dulu ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.”

Dengan demikian, pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terdapat minimal dua hal yang sudah tergambar di antara para pendiri bangsa terhadap negara yang diproklamasikan. Pertama, negara Indonesia adalah negara dengan bentuk republik.

Kedua, wilayah negara Indonesia meliputi bekas jajahan Hindia Belanda, ditambah wilayah Malaka, Kalimantan Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau di sekitarnya.

Baca Juga: Jenderal Kumakici Harada, Sang Mentari Pagi Kemerdekaan Indonesia