Find Us On Social Media :

Apa Pentingnya Konsep Negara Kesatuan yang Ditekankan oleh Soekarno dalam Sidang BPUPKI?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 14 Oktober 2024 | 09:52 WIB

Artikel ini tentang apa pentingnya konsep negara kesatuan yang ditekankan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI. Semoga bermanfaat.

Tapi yang paling diingat tentu ketika Karno pada sidang kedua BPUPKI, tepatnya pada 10 Juli 1945, mengusulkan salah satunya, agar sidang juga menentukan bentuk negara dan menyusun hukum dasar negara.

Sebagai bahan pembicaraan sidang tersebut, panitia kecil yang diketuai Soekarno sebelumnya telah membentuk panitia kecil lain yang menghasilkan usulan rancangan pembukaan (preambule) undang-undang. Dalam rancangan pembukaan tersebut, disebutkan, "...disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia..."

Usulan panitia kecil tersebut lantas ditanggapi oleh sidang BUPKI, terutama penggunaan istilah republik bagi negara Indonesia karena belum menjadi keputusan sidang besar. Salah seorang anggota BPUPKI, Wongsonegoro, menanggapi penggunaan istilah republik dalam preambule yang diusulkan panitia kecil.

Dia mengatakan, "Ada sebuah perkataan di dalamnya yang menurut keyakinan, barangkali dapat bertentangan dengan perasaan rakyat, yaitu perkataan ‘republik’..."

Pendapat lain dimunculkan oleh Ki Bagus Hadikusumo, yang mengatakan, sidang tidak perlu terlalu mendiskusikan pilihan bentuk republik atau kerajaan karena hanya akan menimbulkan pertentangan. "Hendaknya tujuannya saja yang diambil, dan jangan ditambah dengan republik yang tidak tuan sukai. Gambarkan saja apa yang tuan sukai yaitu bahwa negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat..."

Di sisi lain, muncul pendapat dari Susanto. Ia menjelaskan bahwa rakyat kebanyakan tidak mengenal bentuk republik, tetapi negara harus segera dibentuk. Oleh karena itu, dia menyatakan, "Untuk menjamin persatuan, kami merancangkan...bentuk negara yang tidak disebut republik..."

Pendapat yang mendukung bentuk kerajaan dikemukakan oleh PF Dahler. Dia menegaskan bahwa dirinya adalah seorang republikan sejati. Namun dia memilih bentuk kerajaan bagi negara Indonesia merdeka dengan menimbang bahwa rakyat Indonesia masih bertalian teguh dengan adat istiadat dahulu.

"Saya minta bentuk negara itu hendaknya kerajaan. Jadi kalau sekarang bangsa Indonesia sendiri dengan keyakinan tentang haknya sendiri akan meminta bentuk republik, tentu tidak sekali-kali akan saya larang. Malahan dengan segala tenaga akan saya sokong dan dorong."

Mengulangi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, pada sidang ini pula, Muhammad Yamin menegaskan kembali bentuk republik. Dia menyatakan, "Saya yakin bahwa rakyat Indonesia menghendaki republik dan republiklah yang memberi jiwa kepada bangsa Indonesia, bukannya bentuk lain yang mana pun."

Pertimbangan lain dimunculkan oleh Singgih. Baginya, bentuk negara bukan hal yang penting bagi negara Indonesia karena bentuk adalah bahan mati. Yang lebih penting adalah yang menjiwai bentuk itu, yakni pemimpinnya, kepala negara.

Dia pun mengusulkan: "Jadi apakah dipilih bentuk monarki atau republik, atau bentuk lain dengan memakai nama Kepala Negara, itu baiklah diserahkan kepada suara rakyat."

Sukardjo Wirjopranoto memberi pertimbangan perlunya penggunaan istilah tegas sejak awal tentang bentuk negara. "Jika sekarang ini kita sudah dipersoalkan bentuk republik atau monarki, kita harus mengeluarkan suara kita, harus memilih satu dari dua, saya sendiri akan memilih bentukan republik!"