Profil Anggota BPUPPKI: Dr. Sukiman Wirjosandjojo Yang Dikenal Keras Terhadap Komunis

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sukiman punya peran penting dalam rangkaian sidang BPUPKI. Ada usulan-usulan penting yang dilontarkan pria kelahiran Solo itu untuk Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara Indonesia.
Sukiman punya peran penting dalam rangkaian sidang BPUPKI. Ada usulan-usulan penting yang dilontarkan pria kelahiran Solo itu untuk Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara Indonesia.

Sukiman punya peran penting dalam rangkaian sidang BPUPKI. Ada usulan-usulan penting yang dilontarkan pria kelahiran Solo itu untuk Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara Indonesia.

Intisari-Online.com -Sukiman adalah anak bungsu empat bersaudara dari keluarga Wirjosandjojo yang lahir pada 19 Juli 1898 di Kampung Beton, Solo. Ayahnya dikenal sebagai saudagar bahan pangan seperti beras dan lain-lainnya. Usaha Wirjosandjojo ini tidak hanya bergerak di Kota Solo, tapi juga di kota-kota lain.

Sehingga terjadilah persahabatan antara Wirjosandjojo dan Van Der Wal seorang pensiunan tentara Belanda yang mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan. Dia mengurus suatu asrama khusus untuk anak-anak yang sekolah di Boyolali.

Secara resmi Sukiman agak terlambat memasuki bangku pendidikan. Ia dimasukkan ayahnya ke Europese Lagere School (ELS). Untuk melapangkan jalan, Sukiman diambil menjadi anak angkat oleh Van Der Wal dan tinggal di tempat orangtua angkatnya itu. Dia sekolah selama tujuh tahun di ELS. Setelah lulus dari ELS, Sukiman melanjutkan studinya ke STOVIA di Batavia. Di sekolah yang baru inilah Sukiman memperoleh beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda.

Sewaktu belajar di STOVIA, ada sebuah tawaran pekerjaan dari Perusahaan Kereta Api yang hampir menggoyahkan iman Sukiman untuk meninggalkan studinya. Akan tetapi setelah mendapat persetujuan dari orangtuanya yang bersedia membiayainya untuk meneruskan studinya sampai Art (dokter) penuh di Negeri Belanda, maka ia bersedia melanjutkannya sampai selesai.

Dalam masa studinya di Stovia itu, dia ikut dalam Tri Koro Darmo yang kemudian berubah menjadi Jong Java. Di dalam setiap kesempatan baik di dalam forum resmi atau di tempat terbuka dia turut menyampaikan ide dan buah pikirannya untuk kepentingan Jong Java.

Sukiman turut berpartisipasi dan memberikan andil dalam pertumbuhan Jong Java. Oleh karena dedikasi dan perhatiannya terhadap perkembangan Jong Java, maka Kongres Jong Java di Solo pada 21 - 27 Mei 1922 memutuskan untuk menawarkan anggota kehormatan kepada Sukiman.

Selain aktif di Jong Java, Sukiman tidak melupakan pelajarannya di STOVIA Batavia. Dia berhasil meraih ge1ar Indische Art pada 1922. Di saat Kongres Jong Java di Bogor, Sukiman menyampaikan pidato dengan menjelaskan apa artinya persatuan, dan bagaimana membinanya supaya berjalan dan memberi faedah dan manfaat.

Pidato ini mengandung makna yang menggugah hati dan membangkitkan semangat persatuan bangsa diantara para hadirin.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah berumah tangga dan mempunyai seorang anak, Sukiman meneruskan studinya di tingkat doktoral pada Fakultas Kedokteran di kota Amsterdam, dan dia berhasil mendapat gelar Art penuh. Kehadiran Sukiman di Negeri Belanda membawa perubahan dalam perkembangan Perkumpulan Pemuda.

Pelajar dan Mahasiswa yang ada di negeri Belanda sehingga menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di bawah pimpinan Iwa Koesoema Soemantri ketika itu. Pada periode kepengurusan Nazir Datoek Pamoentjak (1922-1923) Sukiman mendapat kepercayaan menjadi ketua panitia peringatan ke-15. Dia merencanakan kegiatan menerbitkan sebuah Buku Peringatan (Geden Boek) yang akan dikeluarkan dua tahun kemudian.

Pada periode kepengurusan Nazir Datoek Pamoentjak (1924 - 1925) dengan suara bulat terpilih Sukiman sebagai ketua perkumpulan, dan pada awal kepengurusannya bahasa Indonesia dipakai secara resmi dalam rapat atau pertemuan dalam organisasi yang dipimpinnya itu.

Dia juga menyetujui usul Ahmad Soebardjo bahwa setiap bangsa Indonesia dengan tidak mengenal suku dan perbedaan agama diharuskan mengenakan kopiah. Pada pertengahan 1925, diterbitkan Buku Peringatan (Geden boek) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

Dalam buku itu Sukiman dan kawan-kawan mengetengahkan tentang kegoncangan dan kegelisahan sosial yang timbul di tanah jajahan, seperti peranan golongan komunis dalam kalangan pekerja dan serikat-serikat buruh.

Sekembalinya dari Negeri Belanda (1926) Sukiman oleh pimpinan PKU Muhammadiyah, dr. Soemowidigdo, ditarik dalam lingkungan organisasi bidang kesehatan organisasi sosial Islam itu. Sukiman mengabdi di Rumah Sakit PKU Yogyakarta selama dua tahun sesudah itu ia mendirikan Spesialis paru-paru.

Selain bekerja dalam bidang profesinya, Sukiman membagi perhatiannya pada bidang politik. Dia masuk Partai Sarekat Islam dengan alasan bahwa pilihan itu adalah bagian dari keyakinannya dan melihat mayoritas yang menderita adalah Umat Islam di Indonesia. Sukiman menjadi tokoh atas bimbingan HOS Tjokroaminoto dan Haji Agoes Salim.

Pada 1930 Partai Sarekat Islam berubah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Namun dalam perkembangannya, Sukiman kurang sepaham dengan sikap dari tokoh-tokoh PSII yang terlalu ketat berpegang pada disiplin partai dan politik hijrah.

Saat itu Sukiman dan Soerjopranoto sebagai pimpinan dan wakil pimpinan Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) sedang berjuang keras membela nasib para pegawai tersebut agar mendapat gaji yang layak dari pemerintah Belanda. Perjuangan Sukiman merugikan nama baik HOS Tjokroaminoto yang segera membawa masalah ini ke dalam Kongres PSII pada Maret 1933 di Jakarta.

Ternyata Kongres memutuskan bahwa Sukiman dan kawan-kawannya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Hal ini diprotes Sukiman yang menganggap keputusan tersebut berat sebelah, sehingga pada akhirnya Sukiman diskors dari PSII.

Namun kegiatan membela para pegawai pengadilan di PPPH tidak dilepas begitu saja oleh Sukiman. Dalam hubungan dengan usaha tersebut Sukiman dan H. Agoes Salim berangkat ke Jenewa sebagai utusan Indonesia dalam Kongres Buruh Internasional.

Setelah Sukiman menyatakan keluar dari PSII, ia bersama tokoh-tokoh Islam serta dukungan kuat dari Muhammadiyah membentuk Partai Islam Indonesia (PARI) yang tujuannya mencapai Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Partai ini kemudian dilebur menjadi PII (Partai Islam Indonesia) di Solo pada 1938 dan ketuanya adalah Raden Wiwoho. Sukiman juga turut berperan dalam pembentukan perserikatan dari partai-partai yang ada di Indonesia. Dia aktif dalam MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), tempat umat Islam membicarakan dan memutuskan persoalan yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam.

Namun sejak pecah perang Pasifik, anggota-anggota PII ditangkap dengan tuduhan bekerja sama dengan Jepang untuk menggulingkan pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, Sukiman lebih banyak mencurahkan perhatian pada bidang politik, meskipun tidak begitu menonjol, kecuali pada masa-masa akhir kekuasaan Jepang. Kegiatan Sukiman ketika itu hanya pada MIAI dan Poetera cabang Yogyakarta sebagai anggota pimpinan. Hal ini karena mendapat kekangan yang ketat dari pemerintah pendudukan Jepang.

Sukiman akhirnya ditunjuk sebagai salah salah satu anggota BPUPKI yang didirikan pada 1 Maret 1945. Dalam kesempatan bicara pada rapat 30 Mei 1945, Sukiman menyampaikan pandangannya, sebagai orang Islam, sebagai berikut:

Disitu kita mendapat kesan daripada perjalanan perjuangan antara kekuasaan negara dengan kekuasaan rakyat, hingga di dalam negara seperti Inggris yang dulu diperintah secara dispotisch, secara paksaan oleh pihak raja, sekarang terdapatlah suatu bentuk yang di dalam hakekatnya adalah republikein, akan tetapi di dalam Merknya dinamakan Kerajaan, yaitu hanya symbolish atau sebagai etiket saja.

Selain itu Sukiman sangat sepaham bahwa pimpinan negara tidak turun-temurun dan dipilih dalam waktu tertentu dan bentuk negara Islam adalah mirip dengan bentuk negara republik.

Dalam sidang 15 Juli 1945, Sukiman mendapat kesempatan lagi untuk menyumbangkan buah pikirannya dalam membahas rancangan Undang-Undang Dasar yang telah disusun oleh Panitia Perancang materi tersebut. Sukiman memfokuskan perhatiannya pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan mengusulkan supaya memilih MPR dan DPR dimasukan dalam UUD, mengingat pentingnya kedudukan MPR.

Seiring dengan itu ia meminta Presiden dipilih oleh MPR, dan hal ini "buat sementara waktu tidak langsung oleh rakyat". Sukiman juga mengusulkan tentang hak warga negara untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar sebagai pendorong untuk membesarkan jiwa rakyat Indonesia yang tertekan oleh adanya penjajah.

Di samping itu Sukiman tak lupa memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia dengan mengusulkan bahwa hak-hak kemerdekaan agama tiap-tiap penduduk sebagai aturan ketentuan bentuk Negara Indonesia Merdeka. Hal ini berkaitan dengan adanya sikap kalangan Islam, dari akibat perkembangan dalam Volksraad, yang syak wasangka dengan kalimat “kenetralan dalam hal agama”.

Setelah Indonesia merdeka, Sukiman duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sukiman kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Selain duduk dalam pemerintahan, Sukiman tampil dalam partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Partai ini bertujuan untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia menuju keridhoan Illahi, menuju Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Dalam kabinet Hatta Sukiman diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. Tetapi dengan adanya Agresi Militer Belanda II, Sukiman dan sejumlah menteri lainnya berhasil meloloskan diri dan berkedudukan sementara di Solo dan bergabung dengan anggota Partai Masyumi lain untuk meneruskan perjuangan dengan cara bergerilya bersama KH Masjkoer dan Soesanto Tirtopradjo di sekitar Jawa Tengah.

Sukiman ikut serta dalam KMB sebagai anggota delegasi bersama Mohammad Roem. Keduanya dari Masyumi. Dalam masa Republik Indonesia Serikat yang terbentuk dan disetujui dalam KMB, Sukiman duduk menjadi anggota DPR-RIS.

Dalam masa politik dan pemerintahan parlementer (1950-an), Sukiman ditunjuk menjadi Perdana Menteri menggantikan kabinet Natsir. Sukiman dapat bekerja sama dengan orang yang berlainan ideologi, kecuali dengan Komunis (PKI). Dia adalah orang yang paling keras dalam menentang PKI.

Dalam perkembangan masa Sukiman lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan di Yogyakarta. Dia menjadi penasehat Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Juga mendapat kepercayaan menjadi Rektor Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Tokoh pejuang nasional yang islami ini meninggal dunia pada 23 Juli 1972 di Yogyakarta dan dimakamkan di Makam Taman Siswa Celeban, Yogyakarta, sesuai dengan permintaan almarhum semasa hidupnya, berdampingan dengan makam almarhum Ki Hajar Dewantara.

Sumber: Tokoh-tokoh Badan Penylidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta, 1993)

Artikel Terkait