Find Us On Social Media :

Ketika Bom Bali I Benar-benar Membuat Pariwisatanya Seketika Mati

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 6 Oktober 2024 | 13:13 WIB

Bom Bali I (Oktober 2002) benar-benar mematikan ekonomi dan pariwisata Bali. Tapi ternyata masih ada beberapa turis yang membuat optimis ketika itu.

Mereka pasti datang lagi ke Bali. "Kebanyakan tamu saya sudah langganan, sudah beberapa kali ke sini, jadi sudah tahu situasi. Mereka tidak takut, walaupun juga mempertimbangkan peristiwa ini," kata Nyoman.

"Malah pelanggan saya orang Italia bilang, 'O, bim Kuta hanya satu kali. Di negara saya perang antar mafia, serangan bom, sering terjadi'."

Banyak juga turis yang cukup rasional sekaligus bernyali, menyatakan bahwa kematian bisa terjadi di mana saja. "Tapi mungkin biaya ke sini jadi lebih mahal, karena nilai asuransi naik," kata Willem DeWilde, wisatawan asal Belanda.

Ada nada optimistis dari sektor industri kerajinan dan komoditas ekspor yang juga banyak melibatkan orang asing sebagai pelakunya. Walau sementara terpuruk, beberapa pekerja yang terlibat dengan produk ekspor meyakini, bahwa bisnis akan terus berjalan.

"Sebab, pasarnya sudah ada, dan mereka tentu tak mau usahanya gagal. Pasti semampunya diupayakan agar terus berjalan," kata Komang Suwarti, penjaga sebuah art shop di Jalan Raya Kuta yang sering melayani buyers mancanegara.

Tapi melihat kenyataan lesunya keadaan setelah peristiwa pengeboman Kuta, rasa ragu pun mencuat juga. Tak sedikit warga Bali yang pasrah pada keadaan. Seorang pelayan restoran Thailand yang mendadak sepi di Jl. Raya Kuta, dengan lugu berharap, semoga si teroris segera tertangkap dan orang tak takut lagi datang ke Bali.

"Tapi apa mungkin? Amerika saja yang sudah setahun tak sanggup membekuk teroris," ia ragu sendiri.

Agar gula tetap manis

Made Suryawan, profesional sekaligus tokoh masyarakat yang acap menjadi juru bicara 33 LSM di Bali, melihat peristiwa pengeboman itu dalam perspektif berbeda. Lepas dari kaitannya dengan afirmasi bahwa di Indonesia ada teroris, lepas dari pembalikan kenyataan bahwa Bali adalah daerah aman, ia menganggap peristiwa 12 Oktober itu sebagai puncak dari belitan persoalan Bali dalam menanggulangi dampak buruk pariwisata.

Beberapa kali Bali diganggu oleh konflik horizontal. Beberapa kali pula dicoba dipatahkan pesona, kenyamanan, dan keamanannya. Ketika Jakarta dilanda kerusuhan, Mei 1998, umpamanya, berduyun-duyun orang Jakarta pindah ke Bali. Ketika daerah lain terpuruk oleh krisis ekonomi, Bali bagai tak terpengaruh.

Saat banyak daerah lain dilanda bencana banjir atau. kekeringan, Bali tenang-tenang saja.

Menurut Made Suryawan, ledakan bom di Kuta bagai mengingatkan orang Bali bahwa pembangunan pariwisata sudah melenceng jauh. Di satu sisi memberi kehidupan bagi banyak orang, pada lain sisi menciptakan dampak yang sulit dikendalikan. Kriminalitas, misalnya, angkanya meningkat dari waktu ke waktu.

Belum lagi persoalan sosial lainnya. Dalam masalah ekonomi, makin banyak orang luar memiliki modal, menyebabkan orang Bali sendiri terpinggirkan. Akibat kuatnya tekanan ekonomi, sampai muncul sindiran, Pulau Seribu Pura itu telah berubah menjadi Pulau Seribu Ruko.

"Niat kami adalah membuat gula itu tetap terjaga kemanisannya, tapi yang datang pun tidak rakus menikmatinya hingga menghilangkan rasa manis itu," Made mengibaratkan.

Beberapa bentuk kepedulian diwujudkan setiap LSM. Ada yang menempuh cara simpatik, ada pula yang radikal dan destruktif. "Misalnya, mengusulkan bagaimana membuat Bali ribut dan tidak aman, agar orang tidak dengan gampangnya datang ke Bali," kata Made. "Tapi saya tolak gagasan itu. Saya bilang, kepedulian' tidak perlulah dengan jalan menggorok leher sendiri."

Ledakan jumlah penduduk, desakan kepentingan ekonomi, memang telah mengubah wajah Bali. Seorang pemuda di Pantai Berawa, sekitar 5 km dari Legian, yang merasakan betul dampak bom 12 Oktober berkata, "Kalau keadaan sepi turis berlangsung lama, kami tak tahu lagi harus berbuat apa. Sebagian besar orang Bali hidup dari pariwisata'. Kalau pariwisata lesu, kami menganggur. Mau kembali mencangkul, subak-subak sudah jadi hotel dan perumahan. Apa yang mau dicangkul?"

Bali pascaledakan bom 12 Oktober memang seiring dengan dampak pariwisata yang sudah mengkhawatirkan. Kalau keadaan tak kunjung membaik, atau tak dilakukan perbaikan cara menatanya, guncangan pasti terjadi. Bali memang tidak seperti dulu, dan tidak bisa kembali seperti dulu lagi.

Ketika sawah masih luas dengan ternak yang tumbuh sehat, ketika warganya dengan leluasa memetik janur dari kebun sendiri untuk hiasan dan perlengkapan upacara, ketika tidak ada keributan dan pencurian, tidak ada kejahatan. Itulah Bali masa lalu.