Find Us On Social Media :

Manusia Biasa Itu Bernama Munir: Sekelumit Cerita untuk Mengenang Sang Pejuang HAM

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 8 September 2024 | 13:53 WIB

Munir manusia biasa pada umumnya. Sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sangat menghormati abah dan uminya. Bahkan pernah berkelahi saat muda. Tapi satu hal: dia akan melakukan apa saja demi membela kebenaran.

Munir memang keren jika definisi keren adalah "rela mempersembahkan hidup untuk kepentingan orang banyak". Namun jika definisi keren mengacu pada nilai-nilai di zaman modern yang sangat konsumtif, yaitu punya materi melimpah, jelas sekali Munir enggak ada keren-kerennya sedikit pun. Ia dikenal terbiasa pakai barang murah.

Walau terkadang punya rezeki berlebih, ia tetap saja tak foya-foya. Hal itu rupanya berakar pada sebuah peristiwa yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD. Ketika itu, ia melihat beberapa mobil diparkir di tepi jalan. Didorong rasa kagum sekaligus iseng, ia mengusap-usap badan mobil tersebut. Ayahnya mendadak ngamuk.

... Aku enggak tau kalo di seberang jalan ternyata ada Bapakku, ngamuknya minta ampun.. dianggap mengagumi kemewahan, kekayaan, menghina.

"Kau sudah tidak menghargai aku sebagai orangtua tapi kau lebih menghargai orang karena barangnya!"

Anak kecil dibegitukan, wah itu marahnya keras dan itu mempengaruhi cara berpikir. Nilai itu masuk. Enggak berani aku mengagumi, waduh, itu mewah, waduh, enggak berani. Ngomong, megang, enggak berani. Selesai.

Umi yang tenang tapi deg-degan

Didikan yang diterima Munir memang keras. Ibunya kerap memukul pantat anak-anaknya saat mereka bersalah. Namun, rasa hormat di hati Munir bersaudara terhadap orangtua tak pernah hilang. Umi bercerita bahwa saat anaknya yang tinggal di tengah kota akan pergi ke luar kota, mereka akan datang lebih dahulu ke rumah Umi yang terletak di pinggir kota untuk sekadar pamitan.

Dalam sebuah wawancara di Malang, Umi yang kini sudah tak ada, mengungkapkan, di balik ketenangannya tetap saja merasa deg-degan melihat kiprah Munir di KontraS. Namun bagaimanapun, Umi dan Anisa, adik Munir, mendukung apa yang ia lakukan.

"... tapi kadang mengingatkan, bukan protes, karena tahu bahwa Munir tidak bisa dilarang. Tapi ya memang enggak mau melarang karena senang punya saudara peduli pada sesama. Tapi kalo bahaya ya takut juga," ungkap Anisa.

Wajar jika keluarga takut mengingat bahwa tak seorang pun menyangka bahwa Munir akan bergelut secara intens di dunia pergerakan yang mengancam nyawa.

Mereka pada awalnya berpikir bahwa apa yang dilakukan Munir hanyalah kegiatan biasa seorang mahasiswa. Aktivitas senat berskala universitas itu tak disangka-sangka pada akhirnya menjadi embrio kegiatan advokasi Munir yang kelak memuai sampai ke lain benua.

Sejak KontraS berdiri, Umi mulai merasa resah sehingga berulang kali meminta Munir untuk mundur dan bekerja di Malang. Munir hanya menjawab, “Enggak ada apa-apa, kok. Aman.”

Ditemani oleh Anisa yang membantunya mengupas detail setiap peristiwa yang dikisahkannya, Umi bertutur, "Saya enggak pernah berharap Munir jadi orang kaya, kerja, keliling-keliling dunia. Enggak pernah itu. Umi hanya ingin ia besar lalu bekerja, enggak tahu mau jadi apa, tapi enggak angan-angan itu, dia jadi aktivis. Enggak terbayang," ungkapnya.

Keinginan Umi yang sederhana itu sayangnya tak terwujud. Mencintai keadilan di negara tiran dan korup tak pernah menyisakan kisah yang sederhana. Kekerasan kerap mengikuti perbedaan-perbedaan yang terbentang antara Munir dengan pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Karena Munir pantang mundur, ia pun lantas merasakan betul bahwa kekerasan adalah suatu hal yang amat menyakitkan.

Jamal bertutur bahwa rasa sakit inilah yang membuat Munir tak pernah bercerita sedikitpun tentang teror yang ia terima. "Dia selalu enggak cerita tentang teror karena (terasa) sakit," tuturnya. "Karena lalau dia cerita, dia mengulang memorinya untuk sakit lagi."

Rasa sakit ini menemui wujudnya yang paripurna pada 7 September 2004. Munir dipaksa untuk menutup jalan hidupnya dengan cara yang amat tragis. Arsenik yang mampu membunuh tiga nyawa sekaligus membuat Munir menahan nyeri tak terkira hingga terkena diare serta muntah-muntah sebanyak enam kali. Ia akhirnya meregang nyawa di tengah dinginnya kabin pesawat pada ketinggian 40 ribu kaki di atas dataran Hungaria.

Indonesia pun gempar. Kita terkejut. Namun hidup memang hanya sebuah kesementaraan. Dulu banyak yang marah mengapa Munir berlalu demikian cepat tapi bagaimanapun kisah seorang Munir sudah selesai.

Kisah kita yang belum usai. Mungkin giliran kita yang harus jadi Munir di area kita masing-masing. Ketidakadilan hidup di semua aspek. Tak usah membelalakkan mata dan berpikir bahwa ketidakadilan hanya ada di panggung politik. Hari demi hari, cermati saja, kita semua bisa jadi adalah korban merangkap pelaku ketidakadilan, bukankah demikian?

Selama bola bumi masih berputar, selama itu juga dunia butuh orang yang mau menjadi voice of the voiceless. Ia hanya manusia biasa. Sama seperti kita. Jika dia bisa berjuang di tengah era yang demikian represif, apalagi kita yang kini hidup di alam demokrasi seperti sekarang? Jika dia bisa begitu gilanya mencintai sesama di tengah situasi yang demikian mencekam, apalagi kita yang sekarang berkiprah di dunia yang begini bebas?