Cerita Suciwati tentang Cinta Versi Munir yang Tewas Diracun

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Suciwati mendefinisikan cinta menurut Munir adalah cinta yang bermuara pada kebenaran. Shock ketika ditinggal sang aktivis untuk selama-lamanya.
Suciwati mendefinisikan cinta menurut Munir adalah cinta yang bermuara pada kebenaran. Shock ketika ditinggal sang aktivis untuk selama-lamanya.

[ARSIP]

"Saya pernah jatuh cinta pada gadis yang secara rasional enggak mungkin saya dapat bertemu dia, karena latar belakang yang sama sekali berbeda. Kini, dia jadi istri tercinta dan kekuatan bagi kehidupan saya, yang jauh lebih kuat dibanding jatuh bangun belajar ilmu pengetahuan atau lainnya." --Munir tentang Suciwati yang dituturkan lewat e-mail pada 17 November 2001 kepada arsitek Meutia Chaerani, yang kini menikah dengan Indi Soemardjan, cucu sosiolog Selo Soemardjan.

Penulis: Christantiowati untuk Intisari edisi November 2007

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Munir Said Thalib, pekerja Hak Asasi Manusia (HAM), bicara cinta? Tak perlu heran. Pria yang tewas pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Indonesia yang tengah melintasi Hungaria, tiga jam sebelum tiba di Amsterdam, itu diduga diracun arsenik. Pangkal solidaritas kemanusiaan Munir, yang tak bisa dipisahkan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), adalah cinta. Bukankah menemukan orang yang hilang adalah memaknai keutuhan manusia, keutuhan keluarga? Atas nama cinta.

Saat coba menegakkan kebenaran, cinta muncul, mengantarnya pada Suciwati. Benih-benih cinta itu subur di lahan cita-cita dan kebenaran. Bersinergi bulat utuh. Hal ini kian jelas ketika Munir pergi selamanya. Hiruk-pikuk ketika dia hidup berlanjut hiruk-pikuk mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya di usia jelang 39.

"Peradilannya yang berbelit-belit membuktikan, kita belum bergeser. Sistem dan pelanggar HAM masih sama. Setelah reformasi, demokrasi memang ada dalam bentuk kebebasan pers dan pemilu presiden langsung. Tapi korban pelanggaran HAM tetap belum menerima haknya," tutur Suciwati (39), lembut. "Tiap Kamis pukul 16.00 - 17.00 kami berdemo damai di depan Istana Merdeka. Ini dilakukan sejak Desember 2006 ... untuk menghalau lupa bahwa demokrasi dan HAM mesti ditegakkan."

Baca Juga: Teka-Teki Sosok Munir Said Thalib, Aktivis yang Hilang Secara Misterius di Udara

Bila Munir mengingatkan kita pada orang-orang berpandangan jauh ke depan seperti Soe Hok Gie yang tewas di akhir 1960-an dan Achmad Wahib pada kecelakaan lalu-lintas di awal 1970-an, Suciwati mengingatkan kepada wanita-wanita hebat macam Corazon Aquino, Wan Azizah, Benazir Bhutto, Aung San Suit Kyi, Megawati dan lain sebagainya.

"Saya bukan Cony, Benazir, atau Megawati. Mereka jadi politisi meneruskan karier politik suami atau ayah yang terhenti karena terbunuh atau dibiarkan mati pelan-pelan. Saya dan Munir pekerja HAM," tegas Suci, lulusan IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang/UM) yang sempat menjadi buruh dan Koordinator Kelompok Buruh Malang, 1990 - 91.

"Tapi saya mengagumi Aung San Suu Kyi. Walau anak mantan penguasa Myanmar, ia benar-benar berani dan pantang menyerah. Saya juga mengagumi Mahatma Gandhi. Saya tak mengagumi Sukarno karena ia berpoligami, memberlakukan demokrasi terpimpin, dan mendaulat diri presiden seumur hidup."

Black campaign

Suci lantas bertutur, "Pascakematian Munir, ada black campaign. Saya disebut mencari keuntungan pribadi, mau terkenal dan jalan-jalan ke luar negeri gratis. Penghargaan--antara lain Human Rights First Award, Metro TV Award, Asia's Hero of the Year dari Time Asia Magazine--yang saya dapat saya anggap iktikad mendukung. Saya sudah kebal dengan janji dari sana-sini. Kejagung, Kapolri, bahkan Presiden. Kini, negara mau berubah atau tidak."

Tiap Senin-Rabu (wawancara dilakukan pada November 2007) Suci bergiat di Yayasan Tifa sebagai tim knowledge management, forum masyarakat terbuka untuk menjaring pemikir muda agar tetap menggerakkan masyarakat sipil ke arah demokrasi.

"Energi, harapan, optimisme harus kita jaga. Cita-cita untuk menjadikan hidup ini lebih baik. Mimpi kita bersama. Sayangnya, ini pekerjaan yang dilakukan sedikit orang, jadi eksklusif. Kalau lebih banyak yang terlibat penegakan HAM, mungkin proses dan hasilnya lebih cepat tercapai," tuturnya.

Suci menerawang, "Segala hal bisa mengingatkan pada Munir. Saat ada pidato politik, saya langsung ingat dia yang berani, pintar menganalisis dan memberi pencerahan. Banyak yang punya data, tapi tak bisa inengolah. menguraikan dan memberi hal baru. Pernyataannya diperhatikan kawan dan lawan, karena datanya sahih, punya nyali, dan alasannya selalu tepat, bisa diterima."

Tapi lelah itu manusiawi. Munir juga sering putus asa. Seputar Pemilu Presiden 2004, dia kecewa, ada pelanggar HAM justru dielu-elukan, dicalonkan jadi capres dan wapres. Alternative Nobel Peace Prize yang diperoleh tahun 2000 pernah akan dia kembalikan. Mundur sejenak untuk cari ilham. Perlu ketegaran luar biasa untuk terus-menerus meminta keadilan. Ini soal pilihan, mengapa terus maju. Bukan soal takut.

Baca Juga: Dianggap Sosok Yang Reformasi SDM Polri, Pria Ini Pernah Tangani Kasus Pembunuhan Aktivs HAM Munir Thalib

"Ketika datang paket teror pasca-Munir meninggal, ada beberapa keluarga mengingatkan, jangan terlalu kritis. Kalau saya mati, itu jalan Tuhan. Seperti yang pernah saya katakan pada Munir: risiko terbesar hidup adalah mati. Jalan manusia adalah meminta pertanggungjawaban, keadilan harus diminta, direbut. Kalau diam saja, kita bagian dari kekalahan, dibodohi. Proses peradilan Munir membuktikan, ada mafia peradilan. Saya juga tahu ujungnya kegelapan. Tapi mestikah kita kalah?"

Suci belajar kebesaran jiwa dari Munir. "Kalau disakiti, dikhianati, biasa saja. Jikapun orang berbuat jahat, saya tak perlu membalas jahat. Kalau kita masih bisa menolong orang yang jahat pada kita, mengapa tidak?"

Bila bertekad menegakkan kejujuran, kejujuran kita sendiri akan diuji. Misalnya, ketika 1997-98 bekerja di YLBHI yang membawahi KontraS, Munir yang bergaji sekitar Rp 1,8 juta/bulan dapat tawaran pindah bergaji Rp20 juta/bulan. Tawaran berulang tahun 2000. Pernah juga ditawari jadi jaksa agung, mobil BMW, rumah di Menteng. Munir tak bisa menerima pekerjaan yang baginya, bertentangan dengan HAM.

"Kita bertahan. Segala tawaran itu justru memperkuat langkah. Makin banyak dirayu, makin meyakinkan bahwa kita benar. Dua tahun keluar dari YLBHI, ia tak berpenghasilan tetap. Hanya mengandalkan honor sebagai pembicara diskusi. Selama di YLBHI, 1996-2001, gajinya Rp 1,8 juta/bulan. Di KontraS yang seatap dengan YLBHI sama sekali tak dapat gaji. Jabatan boleh rangkap, tapi gaji tidak. Terakhir, di Imparsial yang didirikan tahun 2002, pada 2004 Munir dapat Rp 7 juta/bulan."

"Ketika Munir meninggal, saya shock. Bohong kalau bilang tidak. Ia 'kan bagian jiwa saya. Saya belajar dari Sumarsih, ibunda Wawan, korban Tragedi Semanggi. Beberapa bulan setelah kematian putranya, ia menyepi, tak bisa makan, baru kemudian bangkit. Ada yang menderita lebih dari saya, ada yang tak pernah lelah dan merasa kalah. Misalnya, para korban pelanggaran HAM yang dituduh terlibat G30S/PKI. Bayangkan, sejak 1965, lebih dari 40 tahun, tak pernah lelah berjuang."

Kalau stres, jalani saja dengan enak. "Kadang saya mendengarkan musik Indonesia. Favorit saya, Iwan Fals di album-album pertama yang sarat kritik sosial. Di album terakhirnya, 50:50, ia menggubah lagu untuk Munir, Pulanglah. Jangan sampai mati bersedih. Justru harus mengolah kepedihan jadi energi. Tapi tetap ada ruang untuk bersedih. Beri waktu diri sendiri untuk menangis. Biasanya saya menyendiri di kamar. Kita harus menganggap diri kita manusia biasa. Jangan sok kuat, jaim (jaga image, Red)."

Abah tak pulang lagi

"Buat saya, Munir itu sahabat dan pacar. Kami selalu menikmati hubungan kami, sejak masa pacaran, dan tak ada yang beda ketika menikah. Tiap buka mata di pagi hari, kami selalu kumpul dulu 30 - 60 menit di kamar, bercanda dengan anak-anak. Munir akan memandikan anak-anak. Mengantar Alief ke sekolah, berempat naik motor. Pas menikah energi malah lebih kuat. Ini mukjizat dari Allah, di semua lini kami nyambung, klop. Bukan cuma soal politik," Suci tersenyum, lalu mendesah, "Aduh, kalau mengingat ini, saya rindu sekali."

Ribut, bertengkar, itu wajar. "Tapi sejak awal kami sudah sepakat, meskipun capek, marah, saling mengingatkan, tak boleh ribut di depan anak-anak. Semua dibicarakan di kamar. Begitu keluar, persoalan selesai. Kalau masih mengganjal, ditunda dulu."

Sultan Alief Allende, anak pertama, dan Diva Suki Larasati, anak kedua, sudah biasa dengan irama abah dan ibunya. "Pada Kongres KontraS I, saya membawa Alief yang baru berusia tiga bulan. Saat hamil dia lima bulan pun, saya masih mendampingi teman-teman menangani kasus penculikan aktivis."

Yang paling terkenang, tiap sore atau malam, anak-anak selalu menunggu kepulangan Munir. Begitu dengar bunyi motornya, mereka langsung teriak, "Abah datang! Abah pulang!" Ketika akan menempuh pendidikan dengan beasiswa di Belanda, Munir memberitahu Alief, akan sekolah agak lama, tapi tiap tiga bulan akan pulang ke Indonesia. "Jadi jangan harap lihat Abah tiap hari. Jaga diri baik-baik, juga Ibu dan Diva," Suci menirukan pesan Munir.

Alief melaksanakan amanat itu. "Dia sangat care pada Diva yang kini sangat mandiri. Bisa ambil keputusan sendiri, bahkan cenderung mendikte, dominan pada Alief." Alief sendiri tahu ayahnya meninggal dari banyaknya karangan bunga dan berita di media.

"Kami sudah tahu ini risiko terburuk pekerjaan kami. Sejak awal kami sudah menyiapkan asuransi untuk masa depan anak-anak. Sepanjang perkawinan, kami mengontrak rumah di Bekasi. Sejak 2002 cari rumah, belum dapat yang cocok. Beberapa hari sebelum Munir berangkat ke Belanda. September 2004, kami malah dapat rumah yang cocok. Walau dana tak mencukupi, hanya separuh lunas dan separuhnya dicicil. Dia pergi ketika keluarganya sudah dapat tempat berteduh tetap," cerita Suci.

"Saya berusaha memisahkan pekerjaan dengan kehidupan keluarga. Saya menolak kunjungan dan wawancara dalam kaitan kerja di rumah. Ini untuk melindungi kehidupan pribadi anak-anak. Mereka manusia merdeka. Saya tiga hari kerja di Yayasan Tifa. Untungnya saya diberi kelenturan waktu kerja. Bila di hari-hari itu harus mengurus peradilan Munir, saya bisa mengganti jam kerja di hari lain. Kamis agenda demo damai di Istana Merdeka. Jumat, Sabtu, Minggu adalah waktu saya dengan anak-anak."

Sejak kecil, Alief sukamenggambar, terutama otomotif, mobil dan motor. "Herannya, dia mengikuti perkembangan jenis motor dan mobil terbaru. Anak sekecil itu! Sementara Diva cuek banget, senangnya main boneka. Alief dan Diva sangat akur, imajinasi tinggi sekali, gemar bermain operet berdua. Kadang-kadang saya diundang sebagai penonton, hehe. Saya suka mengajak jalan ke alam, Anyer, Pelabuhan Ratu, Ancol, atau Kebun Raya Bogor."

Dulu, Suci dan Munir sangat suka memelihara tanaman dan hewan. Ikan arwana dan ikan buaya di akuarium. Juga ayam pulung dan ayam kate. "Kami senang pagar yang dirambati tanaman. Ia merawat sendiri. Para hewan itu tampaknya merasa kepergian Munir. Beberapa bulan kemudian, satu per satu mereka mati walau dirawat seperti Munir merawatnya." Ya, bahkan tanaman dan hewan pun ikut berduka. Suciwati memang tidak pernah sendirian.

Baca Juga: Pantas Pernah Ditunjuk Kepalai BIN, AM Hendropriyono yang Diduga Terlibat Pembunuhan Munir Ternyata 'Amankan' Jalan Megawati Kuasai PDI, Sampai Bikin Seoharto Murka?

Artikel Terkait