20 tahun yang lalu, aktivis HAM, Munir Said Thalib, ditemukan tewas dalam penerbangan Garuda Indonesia Jakarta-Amsterdam. Ditemukan arsenik 3,1 miligram per liter dalam tubuhnya. Kenapa pria asal Malang itu harus dibunuh?
Dicukil dari buku berjudul Indonesia X-Files (2013) karya Abdul Mun'im Idries, tayang di Majalah Intisari edisi Oktober 2013
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Munir Said Thalib, pengabdi hak asasi manusia kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965, itu ditemukan meninggal dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam, 7 September 2004.
Cerita itu masih menjadi sebuah lakon yang sebenarnya belum tuntas, tapi "dipaksakan" tuntas. Pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyatno sudah menjalani vonis 20 tahun (setelah Pengajuan Kembali ditolak) karena terbukti menjadi eksekutor.
Tapi siapakah aktor utamanya?
Munir didapati meninggal di atas langit Rumania, hanya 2 jam sebelum Boeing 747 Garuda Indonesia itu mendarat di Schiphol, Amsterdam. Dokter dan tim Lembaga Forensik Belanda (NFI) Amsterdam yang mengautopsi jenazahnya menemukan timbunan arsenik dalam darahnya.
Kandungan itu mencapai 3,1 miligram per liter. Padahal, ambang toleransi tubuh manusia hanya 1,7 mg/l. Di lambungnya masih tersisa 465 mg lagi yang belum tercerna. Setelah masuk ke dalam tubuh, racun sebanyak itu hanya perlu waktu beberapa jam untuk membunuh Munir.
Kepada seorang polisi saya katakan, penggunaan arsenik untuk membunuh itu pintar. Racun mematikan itu biasanya dipakai untuk bunuh diri, dan penggunaan untuk pembunuhan tak sampai 10%. Arsenik termasuk ideal untuk pembunuhan karena tidak ada rasa, tidak berbau, tidak berwarna.
Polisi mengajak saya ke Belanda, tapi atas pertimbagan profesional, saya tolak. Penyebab kematian sudah diketahui, yakni arsenik. Yang belum diketahui adalah cara kematian (manner of death).
Menurut analisis saya, kalau racun itu masuk dari pencemaran akibat makanan sea food (makanan sejenis ini banyak yang mengandung arsenik) yang dibagikan di pesawat, hal itu tidak mungkin, karena hanya Munir yang tewas. Analisis kedua, bunuh diri juga tidak mungkin karena Munir pergi untuk melanjutkan pendidikan. Tinggal analisis ketiga: pembunuhan. Tapi cara pembunuhannya belum jelas.
Polisi mengajak saya lagi ke Belanda. Tetap saya tolak. Katanya, "Lumayan, Dok, 10 hari kita dapat uang saku."
Mereka mengajak dokter forensik lain. Berdasarkan laporan dari tim yang berangkat ke Belanda didapat kesimpulan bahwa masuknya arsenik melalui minuman jus. Hal itu sangat tidak mungkin, sebab arsenik mudah larut dalam air panas (hangat), bukan air dingin. Kemudian berdasarkan skenario tim tadi, sifat kerja arsenik (on set of action) 90 menit. Analisis saya, dalam 30 menit sebenarnya sudah keluar gejala keracunan.
Munir dipersilakan pindah oleh Pollycarpus, pilot yang kali itu mendapat penugasan khusus sebagai teknisi, dari kursinya 40G di kelas ekonomi ke kelas bisnis 3K. Ketika pesawat transit 45 menit di Singapura dan penumpang turun, dari pintu keluar kelas bisnis cukup dekat ke kafe Coffee Bean. Menurut saya, di sanalah arsenik diberikan.
Sebelum GA-974 mengangkasa menuju Amsterdam, Munir meminta kepada pramugari obat maag. Menurut saya itulah saat racun bereaksi di tubuhnya. Beberapa kali ia ke toilet. Sekitar dua jam sebelum mendarat, pukul 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ia tidur dalam posisi miring menghadap ke kursi. Mulutnya mengeluarkan air liur dan tidak berbusa, telapak tangannya membiru. Ia sudah meninggal.
Di persidangan pertama disebutkan bahwa TKP di dalam pesawat. Fakta itu yang membebaskan Pollycarpus. Seorang perwira polisi memanggil saya ke sebuah pertemuan untuk mencari TKP. Barulah saya mau membantu.
Apalagi saya punya hitungan skenario 30 menit racun bekerja. Saya yakin, Coffee Bean adalah TKP-nya. Tinggal mencari saksi mata. Ada beberapa pelajar yang melihat Munir mampir di Coffee Bean bersama Pollycarpus.
Saya pernah dipanggil Kepala Bareskrim Polri (saat itu) Pak Bambang Hendarso Danuri (BHD). Kata dia, "Dokter, ini untuk Merah Putih."
Saya tanya, "Lho, kenapa Pak?"
Lalu BHD menjelaskan, "Kalau kita tidak bisa memasukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia (Munir) tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, dok."
Saya tetap menggunakan skenario 30 menit dan memastikan TKP adalah Coffee Bean. Ketika membahas perencanaan dan cara pelaksanaan, merujuklah pada keterlibatan Garuda yang telah mengeluarkan surat tugas kepada Pollycarpus.
Anehnya, surat itu untuk teknisi sementara Pollycarpus seorang pilot. Berdasarkan penjelasan Indra Setiawan, Dirut Garuda waktu itu, Pollycarpus ditugasi menyelidiki insiden Boeing 747 jurusan Singapura-Amsterdam beberapa waktu sebelumnya.
Pesawat itu mengalami masalah karena roda pendaratnya macet dan terpaksa membuang bahan bakar dalam jumlah besar sehingga Garuda rugi. Jika benar itu tugas resmi perusahaan, ada 3 pertanyaan penting.
Pertama, mengapa seorang pilot Airbus 330 yang dikirim dan bukan Boeing 747? Kedua, kalau urusannya roda yang macet, kenapa bukan mekanik yang dikirim? Ketiga, untuk mengecek roda pesawat, juga bahan bakar yang terpaksa dibuang, perlu waktu tak hanya sekejap, malam hari pula, sebab Pollycarpus kembali ke Jakarta keesokan harinya dengan Garuda paling pagi dari Singapura.
Pada akhirnya, kematian Munir tetap menjadi tanda tanya. Ada urusan apa Pollycarpus menghabisi pejuang HAM itu? Kalau memang dia menjalankan tugas, siapa yang memerintahkan?