Find Us On Social Media :

Manusia Biasa Itu Bernama Munir: Sekelumit Cerita untuk Mengenang Sang Pejuang HAM

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 8 September 2024 | 13:53 WIB

Munir manusia biasa pada umumnya. Sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sangat menghormati abah dan uminya. Bahkan pernah berkelahi saat muda. Tapi satu hal: dia akan melakukan apa saja demi membela kebenaran.

Berantem profesional

"Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam", begitu kata pepatah. Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood. Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia. Cinta punya implikasi luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti pada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.

Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau biasa dipanggil. Beliau terkesan intelek walau tak pernah mengecap pendidikan formal sedikit pun.

Perempuan tangguh ini berhasil mendidik - bukan hanya membesarkan - tujuh anak, seorang diri. Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya. Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Abah, begitu beliau biasa dipanggil, akhirnya menghembuskan napas terakhir.

Umi lantas -membahu dengan anak-anaknya menjaga toko sepatu milik keluarga. Munir kecil belajar melayani pembeli. Tawar-menawar harga lantas menjadi bagian integral dari kesehariannya. Di kemudian hari Munir mengungkapkan bahwa nilai-nilai egaliter yang ia pegang teguh berawal dari kehidupannya di pasar.

"... Interpretasi hubungan manusia yang saya miliki ya mengacu pada pasar. Orang yang paling egaliter itu kan pedagang kecil di pasar. Cara menghargai orang, cara berhubungan, komunikasi, nilai, macem-macem itu, ya di pasar. Itu mempengaruhi saya karena sejak TK saya sudah di pasar," tutur Munir.

Kehidupan yang sulit membentuk Munir menjadi sosok yang temperamental dan keras. Ia menuturkan bahwa secara intuitif ia akan membela anak "biasa-biasa saja" yang dikeroyok oleh "anak sok kaya atau sok mentereng-mentereng" kendati ia tidak mengenal mereka.

Munir tidak nakal tapi jika diganggu ia tak keberatan untuk berkelahi. Saat kuliah ia juga pernah memukul seseorang sampai orang itu masuk rumah sakit.

"Dia itu berantemnya profesional, bukan berantem sembarangan. Berantemnya itu spesifik, dia enggak bisa melihat sesuatu yang enggak benar bagi dia. Dia berani, apa pun risikonya, walaupun berantemnya enggak seimbang," begitu cerita Jamal, adik Munir dalam Bunga Dibakar, sebuah film yang didedikasikan untuk Munir.

Jika ketika kecil amarahnya terhadap ketidakadilan dia ungkapkan dalam rupa bogem mentah, saat dewasa rasa geramnya diluapkan dalam tindakan yang elegan yakni mendirikan institusi yang memperjuangkan hak asasi manusia.

Cintanya pada sesama membuahkan banyak kisah menarik. Pencuri buru-buru mengembalikan motor yang dicurinya begitu tahu bahwa pemiliknya adalah Munir. Dia pernah mendatangi seseorang di Pamulang untuk suatu urusan.

Hanya gara-gara didatangi Munir yang top banget, orang yang semula dipandang sebelah mata oleh para tetangga karena miskin, mendadak naik derajat. Munir pun lantas didaulat menjadi saksi pernikahan anaknya untuk mendongkrak martabat keluarga. Biar miskin tapi keren, begitu mereka berpikir.