Find Us On Social Media :

Manusia Biasa Itu Bernama Munir: Sekelumit Cerita untuk Mengenang Sang Pejuang HAM

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 8 September 2024 | 13:53 WIB

Munir manusia biasa pada umumnya. Sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sangat menghormati abah dan uminya. Bahkan pernah berkelahi saat muda. Tapi satu hal: dia akan melakukan apa saja demi membela kebenaran.

Munir manusia biasa pada umumnya. Sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sangat menghormati abah dan uminya. Bahkan pernah berkelahi saat muda. Tapi satu hal: dia akan melakukan apa saja demi membela kebenaran.

Penulis: Meicky Shoreamanis Panggabean, dosen Universitas Pelita Harapan Teachers College, disarikan dari Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir(2008), tayang di Majalah Intisari edisi September 2014.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Masih ingat Munir? Aktivis hak asasi manusia? Pendiri KontraS?

Menyebut namanya niscaya akan membawa benak kita melayang ke kabin pesawat, tempat ia mati diracun dalam sebuah penerbangan menuju Belanda. Membuat kita teringat pula akan rangkaian teror yang tak pernah mampu menghentikan keberaniannya. Melempar kita ke headlines koran-koran di masa lalu. Sebagian dari kita tentu masih ingat betapa sering sepak terjangnya, yang membuat jantung berdegup kencang itu, masuk halaman utama surat kabar.

KontraS, lembaga yang dipimpinnya saat itu punya lawan yang sungguh tak main-main: Presiden Soeharto. Sebuah bom yang diletakkan di bawah jendela kamar ibunya sekali pun tak mampu membungkam pria bertubuh ringkih ini. Dengan reputasi seperti itu, tak heran banyak orang menganggapnya sebagai manusia langka, pemberaninya engga keru-keruan, nekat bin ngawur. Benarkah?

Saya beruntung sempat mewawancarainya untuk keperluan membuat makalah kuliah. Dalam perbincangan di kantor KontraS, ia menekankan bahwa persepsi masyarakat tentang keberaniannya perlu dikoreksi. "Aku itu penakut," kata dia berterus terang.

Kalimat-kalimatnya terpotong oleh panggilan telepon sebanyak dua kali. Isi salah satu di antaranya ia ceritakan setelah telepon ditutup, "Di Surabaya ada orang ngumpulin dana dari masyarakat atas namaku dan Nabi Muhammad buat bikin Partai Buruh," begitu tutur dia.

Munir berbicara dengan gaya cuek, iramanya datar dan bahkan saat menggunakan pilihan kata yang cukup keras, ia tetap saja berbicara dengan intonasi rata. Sah-sah saja untuk tidak setuju dengan pengakuannya bahwa ia adalah seorang penakut.

Namun Munir bersikeras bahwa ia bukanlah seorang pemberani. "Takut ya takut. Namun takut harus dirasionalisasi," ujarnya. "Aku itu penakut, istriku yang pemberani tuh," tutur dia menyebut-nyebut nama Suciwati yang memberinya dua orang anak, Alif dan Diva.