Find Us On Social Media :

Demonstran Itu Tewas di Gunung Semeru, Catatan Rudy Badil Mengenang Kematian Soe Hok Gie

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 16:03 WIB

Rudy Badil menuliskan kenangan-kenangan terakhirnya dengan sahabat sekaligus dosennya di FSUI, Soe Hok Gie, yang tewas di Gunung Semeru.

Sore itu seperti biasanya, hujan turun lagi. Kucuran air hujan ditampung, padahal sebelumnya Herman sudah menadah tetesan air di Sumber Mani.

Lagi-lagi malam yang sepi. Pikiran hanya berkisar soal kenapa begini dan begitu. Yang jelas bagi kami berempat, tahu sekali Hok Gie dan Idhan sudah meninggal. Sudah dua hari dua malam, mereka terpisah. Kami tidur-tiduran sambil menahan dingin dan lapar, sedangkan Hok Gie dan Idhan dalam lamunan samar-samar, pasti sedang terebah di alam Semeru yang serba hening. Mereka pasti kesepian - kami juga.

Sempat terbayang, Hok Gie hari itu seharusnya sedang ceria berulang tahun ke-27. Idhan yang jangkung dan agak kurus berotot, mungkin lagi mengganggu Hok Gie dengan nyanyian lagu Panjang Umurnya. Namun bayangan itu terjawab dengan kenyataan. Kedua teman ini saat itu sedang terbaring sendiri-sendiri, jauh dari rumah dan keluarganya. Tubuh mereka yang tiada bunyi degup jantung lagi, sedang telentang beberapa ratus meter di atas kami.

Kedua almarhum ini, hanya tidur beralaskan pasir Semeru. Badannya pun cuma berselimutkan debu bekas letusan kawah Jonggring Selaka dan halimun tebal–mungkin juga titik air hujan. Wajah Hok Gie dan Idhan, pasti masih segar. Namun paras muka mereka, pasti tersengat sorotan matahari di tanah tertinggi di Pulau Jawa ini. Atau menadah cahaya bulan. Kami berusaha tidur meringkuk di tanah basah.

Hok Gie dan Idhan pasti terbaring damai tanpa usikan. Tangan kami bersilang ke dada, agak gemetaran karena dingin. Tangan mereka juga bersilang ke dada - tanpa gerak.

Surat Tides untuk Herman

Hari ketiga tanpa kegiatan apa-apa. Herman yang tetap segar saat itu baru sadar, goresan tajam batu gunung sudah merobekkan celana tebal sekaligus kulit pantatnya. Luka itu tak kami perhatikan, karena perhatian kami lebih tertuju terhadap Maman yang makin kurang sehat. Hari keempat menjelang agak sore, lapat-lapat terdengar suara manusia.

Herman bergegas keluar, sambil berteriak gaya orang Dani dari Jayawijaya. Teriakan disambut teriakan juga. Makin dekat, akhirnya muncul tenaga bantuan sekitar 10 orang - kalau tak salah.

Mereka menawarkan sisa nasi jagung dingin dan secuil ikan asin. Maman dipaksa Herman untuk menelan makanan itu. Guru Mulyadi (entah di mana beliau sekarang berada) dari SD Gubuk Klakah di Kecamatan Tumpang, memberikan secarik kertas kecil - surat dari Tides itu salinan lengkapnya begiri:

18-12-69

Herman,

Kita sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, ± djam 5.30 sesudah berdjalan sepanjang malam (± 20 djam).