Find Us On Social Media :

Demonstran Itu Tewas di Gunung Semeru, Catatan Rudy Badil Mengenang Kematian Soe Hok Gie

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 16:03 WIB

Rudy Badil menuliskan kenangan-kenangan terakhirnya dengan sahabat sekaligus dosennya di FSUI, Soe Hok Gie, yang tewas di Gunung Semeru.

Sehari menjelang ultahnya

"Kalau begitu, sebaiknya kita semua stand-by di sini. Segera kita atur tindakan darurat," kira-kira begitu ucap Tides. Akhirnya rapat memutuskan begini. Tides dan Wiwiek harus turun sore itu juga, mencari bantuan darurat terdekat--entah di Gubuk Klakah atau Ranu Pane di bawah sana. Herman, Fred, dan saya, ditentukan tetap berada di daerah gundul.

Perbekalan yang hanya tersedia untuk 8 anggota untuk satu hari, dibagi rata dan dihitung cermat. Kalau tak salah ingat, sebotol air segar berikut beberapa pil vitamin C, sekitar 6 lempeng biskuit, sebongkah kue kacang hijau makanan ABRI, dan entah lainnya lagi, menjadi bekal buat Tides dan Wiwiek yang harus segera turun gunung--berikut satu senter.

"Kasih sweater ini untuk Maman pakai," kata Tides menanggalkan pakaian hangatnya. "Tolong lihat Soe dan Idhan, juga jaga Maman. Mari kita berdoa untuk keselamatan semuanya."

Malam itu dingin sekali: embun tebal dan gerimis tipis, teralang selembar ponco yang direntangkan sebagai atap darurat. Tanah bebatuan yang diratakan sedikit, menjadi pelataran bermalam. Kami yang tersisa itu, terdiam dan hanya sesekali saja berbicara. Herman yang berkali-kali terjaga, sempat duduk membetulkan satu-satunya selimut untuk menutupi sekujur badan Maman. Mungkin Herman juga sempat bilang:

"Kalau sekarang sudah lewat pukul 12 malam, artinya Soe berulang tahun. Tapi kenapa ada kejadian itu? Mari kita berdoa, mudah-mudahan mereka di atas masih hidup."

Pagi-pagi sekali, kami terjaga dan bangun. Lamat-lamat Pulau Bali yang terpisah selat sempit, kelihatan dari jauh. Pemandangan di sekeliling kemah selembar ponco itu, seharusnya amatlah permai. Tapi tak ada yang peduli. "Freddy ikut kita ke atas. Lihat Soe dan Idhan, apakah mereka masih bisa tertolong," ujar Herman. "Kamu jaga Maman dan bereskan perlengkapan. Nanti kita semua turun ke bawah tunggu bantuan Tides dan Wiwiek."

Entah berapa lama kedua kawan ini ke atas. Tahu-tahu ada kerikil bergelindingan ke bawah. Tak lama terdengar jelas suara tapak langkah dari atas. "Nah, mereka tiba," kata perasaan hati. Memang benar mereka tiba. Tapi "mereka" itu cumalah Herman dan Fred. Muka murung kedua sahabat ini, makin memurungkan suasana saat Fred dengan perlahan bilang: "Betul. Hok Gie dan Idhan sudah meninggal. Idhan meninggal di lereng agak lebih atas dari Hok Gie. Mari kita turun dulu."

Tunggu bantuan tiba

Jadi sudah pasti Idhan dan Hok Gie telah meninggal. Herman dengan keras dan tegas, mengajak kami turun ke basecamp yang kami tinggalkan di dekat Ranu Pane. "Kita sudah kehabisan perbekalan, juga tak ada peralatan untuk bertenda yang memadai. Kita turun dulu, nanti bawa perlengkapan dan perbekalan, terus naik lagi. Kita harus bawa pulang Soe dan Idhan," ucap Herman.

"Kamu dampingi Maman. Tadi pagi Maman sudah dikasih sarapan?" tanyanya soal sarapan yang tersisa cuma sebatang cokelat, satu bungkus Supermi kering, kue kacang hijau, dan sisa air kakao campur air hujan.

Hampir setengah hari kami menuruni lereng curam yang tadinya cuma didaki sekitar dua jam. Setibanya di kaki Gunung Jambangan yang masih cukup jauh ke tepian danau perkemahan, Herman menghentikan perjalanan dan membangun bivak darurat di sela robohan batang pohon besar. Nyala korek api terakhir, berhasil membuat api penerang di lentera minyak.