Find Us On Social Media :

Bagaimana Jassin Menyusun Dokumentasi Di Pusat Dokumentasi Sastra?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 22 Juli 2024 | 13:07 WIB

Bagaimana Jassin menyusun dokumentasi di Pusat Dokumentasi Sastra? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiknya kita tahu profil Sang Paus Sastra Indonesia

Pemimpin redaksinya belum dia kenal. Suatu malam keinginan itu menggoncang goncang hatinya, sampai-sampai tak dapat tidur. Keesokan harinya belum jam 7 pagi dia sudah tiba di rumah Adinegoro dan menyatakan hasrat hatinya.

“Boleh,” kata Adinegoro, datang saja ke kantor. Hari itu juga dia datang ke kantor redaksi Pewarta Deli, belajar menyadur berita-berita Aneta ke dalam bahasa Indonesia yang enak dibaca. Ketika Jepang menduduki Tsinto, dia ditugaskan menulis tentang operasi militer itu. Dimuat dengan namanya tercantum pada Pewarta Deli.

Untuk pertama kalinya nama H.B. Jassin dicantumkan dalam surat kabar. Hatinya melonjak girang. Selanjutnya karangan-karangannya dimuat juga pada Mingguan Lukisan Dunia yang oleh Adinegoro diserahkan penyelenggaraannya kepada Mochtar Nasution.

Tulisan dalam Majalah Pujangga Baru semakin membakar hatinya. Udara pembaruan yang menggerakkan jiwa anak muda. Sebulan sekali dalam perjalanan ke sekolah dia singgah di kios buku Centrale Courant di Jalan Hakka.

Satu-satunya toko buku di Medan yang menjual Pujangga Baru. Dari jauh sudah tampak majalah itu terpancang dengan gambar orang dalam gerak dinamik hendak lari, melambangkan jiwa baru.

Tak tahan lagi

H.B. Jassin tamat HBS tahun 1939. Pada waktu itu orang tuanya sudah kembali ke Gorontalo. Sekarang dia harus pulang kampung dulu. Dipilihnya jalan melalui Jawa. Di Jakarta ia menumpang pada kerabatnya di Jalan Kesehatan. Omong punya omong, Jassin bertanya kepada tuan rumah, apakah dia kenal Takdir?

Jawabnya, “Oh, rumahnya di belakang situ.”

Pertemuan pertama dengan sastrawan yang membakar hatinya. Percakapan asyik tentang kesusastraan. Jassin berkata kepada Sutan Takdir Alisjahbana, bahasa Belanda dirasakannya lebih enak untuk mengungkapkan isi hati dari bahasa Indonesia.

Takdir membantah keras sambil mengemukakan ungkapan-ungkapan Indonesia yang jitu sebagai bukti. Sebulan kemudian, ketika dia sampai di Gorontalo, sudah ada surat menanti dari Takdir. Isinya, “... dari hasil pembicaraan tempo hari, ternyata Saudara berminat besar terhadap kesusastraan Indonesia. Kebetulan di Balai Pustaka Jakarta ada lowongan. Bersediakah Saudara menerima?”

Kalau hanya tergantung pada perasaannya, hari itu juga dia mau balik ke Jakarta. Tetapi ditahan oleh ayah dan sanak keluarganya. Lagi pula di Gorontalo pun ayahnya sudah menyediakan lowongan. Volontair Binnenlandsch Bestuur (BB/pangreh praja) pada kantor asisten residen. Priyayi B.B., walau masih magang, lebih terhormat daripada sastrawan Melayu.

Jassin menyerah, dia bekerja sebagai volontair pada kantor karesidenan. Pekerjaannya tersebut ada segi menariknya. Lagi pula dia berkesempatan menulis pada majalah setempat, Keinsyafan. Celakanya, dia baru seorang volontair, seorang magang.