Find Us On Social Media :

Bagaimana Jassin Menyusun Dokumentasi Di Pusat Dokumentasi Sastra?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 22 Juli 2024 | 13:07 WIB

Bagaimana Jassin menyusun dokumentasi di Pusat Dokumentasi Sastra? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiknya kita tahu profil Sang Paus Sastra Indonesia

Surat-surat korespondensi kantor ditulisnya dengan rapi dan bergaya. Jassin nama keluarga, yang di pakai sejak kakek tuanya. Kakek tua itu sekretaris raja Gorontalo. Seorang pamannya, Talue Jassin adalah penyimpan silsilah dan hal ikhwal adat Gorontalo yang terlengkap. Orang berdatangan kepadanya mencari tahu. Terang dari sini datangnya minat Jassin akan dokumentasi.

Pendiamnya?

Dari sang ibu. Ibu Jassin yang “... berbicara dengan ayah pun jarang sekali, karena tak berani.” Ibunya meninggal tatkala Jassin berusia 15 tahun. Saudara kandung semuanya tujuh, yang hidup tinggal empat orang.

Hans dari Hamzah. Sengaja dibuat demikian oleh ayahnya, agar mudah pergaulan anaknya dengan teman-teman sekolah yang kebanyakan beragama Kristen di Tondano. Ada riwayat lain dari nama itu. Hans ikut ayahnya yang dipindahkan ke Pangkalan Brandan, dia meneruskan sekolah di HBS Medan.

Setiap kali piknik bersama teman-teman, atau kalau sedang makan, mereka selalu menjauhi Hans. Aneh baginya, ketika dia menanyakan sebabnya, jawab mereka, “Bukankah engkau makan babi?” Karena namanya Hans, disangkanya beragama Kristen dan makan babi.

Penghinaan yang tak terlupakan

Di HBS dia memilih jurusan pasti alam, karena ada harapan dari orang tuanya agar dia menjadi dokter. Tetapi Corpershoek, gurunya dalam bahasa dan kesusastraan Belanda, justru membangkitkan minatnya pada sastra. Guru itu ahli Vondel (pujangga Belanda) dan pandai mengajar.

Jassin ingat benar ketika Corpershoek sedang menerangkan aliran romantik. Dengan suaranya yang merdu dia bawakan sebuah sajak, melukiskan seorang muda yang menangisi batu nisan anaknya di bayangan sinar bulan.

Hati Jassin tergerak pula apabila gurunya menguraikan pembaruan dalam puisi Belanda yang dibawa oleh aliran De Tachtigers. Suatu hari Jassin datang ke rumah guru itu membawa Majalah Pujangga Baru. Ia terangkan dengan hati bangga bahwa kesusastraan Indonesia pun mengenal pembaruan seperti De Tachtigers.

Apa jawab tuan Corpershoek ketika muridnya menyerahkan majalah tersebut?

Disentuh pun tidak. Tidak juga keluar sepatah katanya. Hanya pandangan mata mencibir yang dipicingkan ke atas. Hati Jassin sakit. Tuturnya, “Lirikan matanya tak pernah saya lupakan.”Menjadi wartawan

Penghinaan gurunya terhadap kesusastraan Indonesia tidak mematahkan minat Jassin. Dia berkenalan dengan sastra Indonesia melalui Koran Pewarta Deli. Ada ruangan kesusastraan pada harian yang dipimpin Adinegoro tersebut. Pengasuhnya Matumona. Pada waktu itu baginya belumlah jelas perbedaan antara jurnalistik dan kesusastraan. Dia ingin menjadi wartawan. Ingin menulis dalam Pewarta Deli. Bagaimana caranya?