Find Us On Social Media :

Wardiman Djojonegoro Dan Kesetiaannya Menjadi Provokator Budaya Panji

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 18 Juni 2024 | 11:30 WIB

Wardiman Djojonegoro Setia Menjadi Provokator Budaya Panji

Populer di Thailand

Berkeliling ke berbagai daerah sejak 2016, Wardiman melihat pertumbuhan sanggar-sanggar Panji sangatlah pesat. Masyarakat perlahan-lahan mulai memahami budaya Panji dan terlibat dalam pelestarian budaya ini melalui seni pertunjukan, seni lukis, kerajinan tangan, grafis, seni suara, dll.

Fenomena ini tentu menggembirakan, karena sebenarnya budaya Panji memang sempat hidup di masyarakat Indonesia, setidaknya sampai 1960-an. Ketika itu cerita-cerita Panji masih dikisahkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam bentuk dongeng saat petang hari. Cerita ini juga sempat hadir dalam komik dan film-film layar lebar.

Akan tetapi, menurut Wardiman, cerita-cerita Panji perlahan-lahan mulai menghilang setelah masuknya budaya televisi ke rumah-rumah kita. Generasi setelah tahun 1960-an sudah asing bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Apalagi setelah masuknya budaya internet.

Situasi ini berbeda dengan di negara tetangga kita, seperti di Thailand. Di negeri itu, cerita-cerita Panji terus lestari karena menjadi bagian dari tradisi kerajaan.

Dalam Seminar Internasional Panji/Inao di Perpustakaan Nasional RI, pada 2018, terungkap bahwa di Thailand kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya. Kedua putri itu mendapatkan kisah Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu.

Seperti ditulis di situs Historia.id, masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke dalam dua bentuk yang kemudian digunakan untuk drama tari yaitu Dalang dan Inao. Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita Dalang.

Sementara putranya, Rama II (1809-1824) mempopulerkan cerita Inao. Tradisi Inao kemudian dikembangkan lagi oleh Raja Chulalongkorn yang mendorong para seniman untuk mereproduksinya dalam berbagai bentuk seni, seperti drama, tari, dan lukisan.

Dia sendiri menulis naskah Inao dengan sekitar 5.000 syair. Tak kurang tiga kali raja ini berkunjung ke Pulau Jawa dan bertanya perihal Cerita Panji kepada para pejabat setempat seperti Bupati Bandung dan Sultan Yogyakarta.

Kini Cerita Panji tetap dikenal oleh masyarakat Thailand, karena hadir di sekolah sebagai materi pelajaran. “Setiap bulan ada satu jam pelajaran tentang Cerita Panji di sekolah,” tutur Wardiman yang sudah tiga kali ke negeri itu untuk melihat perkembangan Panji di sana.

Cerita Panji juga mulai dibawa melanglang buana ke berbagai negara. Salah satunya seperti yang dipertunjukkan di Katara Opera House, Doha, Qatar pada Mei 2023. Sebuah drama bertajuk “Hayati: Panji Mencari Hakikat Cinta” yang disutradarai Rama Soeprapto tampil dalam program Qatar-Indonesia 2023 Year of Culture.

Maraknya kembali budaya Panji dalam panggung modern ini seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan dari sejumlah pejabat kepada Wardiman; bagaimana mengadaptasi budaya Panji dalam bentuk kekinian?

Tegas Wardiman berkata, di sinilah kita perlu pemahaman bahwa Cerita Panji juga bisa diadaptasi dalam bentuk-bentuk masa kini. Dan itu tetap sah disebut Panji! Panji tidak harus hadir dalam bentuk-bentuk cerita dengan setting istana, kerajaan, atau wayang. Panji juga bisa hadir dalam format keseharian kita di zaman modern ini.

“Cerita Panji juga bisa hadir dalam berbagai kreasi seperti sepatu, busana, aksesoris, karakter animasi superhero, termasuk lagu-lagu Panji,” tutur mantan menteri yang sebelumnya 10 tahun berkarier di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Tiga buku Kartini

Di samping menjadi “provokator” Panji, aktivitas harian Wardiman kini sedang disibukkan dengan menerjemahkan surat-surat RA Kartini. Harapannya, buku yang rencananya akan terbit tiga jilid itu bisa diluncurkan pada hari ulang tahunnya yang ke-90, pada 22 Juni 2024.

Boleh dikatakan perkenalan Wardiman terhadap surat-surat Kartini adalah berkat jasa Cerita Panji juga. Saat masih sibuk mengurus MoW Cerita Panji, sekali dalam setahun ia mengunjungi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda.

Di perpustakaan yang banyak menyimpan arsip tentang Nusantara itulah ia mendapati surat-surat Kartini yang sangat lengkap. Bahkan lebih lengkap dari yang pernah diterjemahkan oleh Armyn Pane (90 surat) dan Sulastin Sutrisno (116 surat).

“Sedangkan saya 179 surat dengan 800 halaman. Surat-surat yang pernah diterjemahkan Sulastin akan saya muat lagi,” tuturnya.

Menurut rencana tiga jilid buku itu terdiri atas buku pertama berjudul Surat-surat Kartini setebal 800 halaman. Lalu buku kedua Kartini, Hidupnya, Renungannya dan Cita-citanya yang berisi kutipan dari buku antara lain karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Panggil Aku Kartini Saja.Kemudian buku ketiga adalah Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia yang berisi isu gender di Indonesia saat ini, analisa dan usaha-usaha menanggulanginya.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News