Find Us On Social Media :

Ramai-ramai Tapera, Inilah Sejarah Kebijakan Perumahan Rakyat di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 5 Juni 2024 | 10:02 WIB

Sejarah kebijakan perumahan rakyat di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda. Ketika itu sasarannya adalah para pegawai pemerintahan.

Sejarah kebijakan perumahan rakyat di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda. Ketika itu sasarannya adalah para pegawai pemerintahan. Semakin masif saat era Orde Baru.

Intisari-Online.com - Semua orang saat ini berbicara tentang Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Sebagian besar mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

Penyelenggaraan Tapera sendiri resmi diteken oleh Presiden Jokowi pada 20 Mei 2020 lalu lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Undang-Undang Tapera disebut-sebut akan menjadi solusi pembiayaan jangka panjang untuk kepemilikan rumah di Indonesia.

Melalui adanya Tapera, setiap pemberi kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta kepada BP Tapera. Meski begitu, ada beberapa poin yang menjadi sasaran tembak kebijakan yang disebut hanya menguntungkan pemerintahan ini. Tapi bukan itu yang akan kita bahas, tapi payung besarnya: Perumahan Rakyat.

Sebenarnya sejak kapan kebijakan perumahan rakyat ada di Indonesia?

Mengutip situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Perumahan.pu.go.id, kebijakan perumahan rakyat sudah ada di Indonesia sejak zaman Belanda. Tepatnya tahun 1942.

Begini timeline-nya, berdasar situs PUPR.

1924

Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Burgelijk Woning Regeling atau disebut dengan BWR. Peraturan ini mendorong penyediaan perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil oleh Pemerintah Hindia Belanda.

1925 - 1930

Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih serius melakukan penataan kota menjadi lebih modern mengacu model kota-kota di Eropa untuk menyediakan permukiman yang layak kepada orang-orang Belanda dan Eropa yang makin banyak datang ke Hindia Belanda

1934

Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan dua program perumahan perkotaan, yaitu: Perbaikan kampung atau Kampung Verbetering dan penyuluhan tentang rumah sehat. Penanggulangan penyakit pes atau pest bestrijding di daerah perumahan kumuh.

Baca Juga: Berniat Pakai Fasilitas KPR dari BPJS Ketenagakerjaan? Baca Dulu Ketentuannya!

1945

Departemen Pekerjaan Umum terbentuk, yang salah satu tugas dan fungsinya adalah melakukan pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung. Namun, karena kondisi negara sedang tidak aman dan tidak stabil saat itu, maka dampak pembangunan perumahan belum terasa oleh masyarakat

1949-1950

Stadsvorming Ordonantie (SVO) atau Undang-undang Pembentukan Kota ditetapkan, mendasari pembangunan Kebayoran Baru, pelopor pembangunan perumahan Indonesia Penyelenggaraan Kongres Perumahan Sehat pertama, tanggal 25-30 Agustus 1950 di Bandung menghasilkan tiga keputusan penting.

Kongres ini menjadi tonggak sejarah perumahan di Indonesia dan tanggal 25 Agustus diperingati sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas) berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 46/KPTS/M/2008.

1951-1953

Pendirian Yayasan Kas Pembangunan (YKP), lembaga pembiayaan perumahan. Djawatan Perumahan Rakyat dibentuk sebagai lembaga pembangunan perumahan, bagian dari Departemen Pekerjaan Umum.

Dibentuk LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan) untuk menangani masalah perumahan, khususnya dalam penelitian guna mencari solusi pengembangan rumah murah. Lembaga ini kemudian mendapat bantuan dari PBB.

Kongres perumahan rakyat sehat 1952

Seperti disebut di awal, kebijakan perumahan untuk rakyat di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, khususnya pembangunan perumahan murah yang ditujukan agar masyarakat lebih mudah dalam memiliki rumah.

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, urusan penyediaan perumahan ditangani langsung oleh pemerintah. Secara kelembagaan, urusan perumahan ditangani oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat khususnya di Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan.

Program perumahan murah di Indonesia berawal dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada Agustus 1950 di Bandung. Di situ, dicanangkan Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai perintis rumah murah di Indonesia.

Lewat SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada tanggal 25 April 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat (DPR) di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Apa tugas DPR, antara lain membuat konsep kebijakan perumahan dan mengatur penyelenggaraa pembiayaan pembangunan perumahan.

Sebelumnya, pada tanggal 20 Maret 1951 dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Rakyat. Lalu dibentuklah Yayasan Kas Pembangunan (YKP).

Hingga tahun 1961, yayasan ini mampu membangun 12.460 unit rumah. Namun karena kesulitan keuangan akhirnya lahirlah Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC).

Baca Juga: Perumahan Elite di Jakarta Terletak pada Beberapa Kawasan, Tahukah Anda Letak Kawasan Perumahan Elite Ketika Kota Ini Masih Bernama Batavia di Zaman Kolonial Belanda?

Perumnas, dicanangkan Bung Karno diresmikan Soeharto

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan rumah semakin membesar. Karena itulah disepakati adanya pembentukan badan lain yang bertugas memberi pengarahan secara menyeluruh, agar program perumahan segera tercapai.

Pada 1974 kemudian dibentuklah Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Badan ini berfungsi merumuskan garis-garis kebijaksanaan dan petujuk pelakanaan bidang pengembangan dan pembinaan perumahan di samping koordinasi dan pengawasan.

Bank Tabungan Negara (BTN) kemudian ditunjuk sebagai Bank Hipotik Perumahan. Dengan posisinya itu, BTN bisa memberikan KPR kepada para peminat rumah dengan suku bunga yang disubsidi.

Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) baru berdiri pada tanggal 18 Juli 1974, dengan Ir Radinal Moochtar sebagai Direktur Utamanya. Pembiayaan bersumber dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Ketika itu pembangunan masih dipusatkan di sekitar Jabodetabek.

Walaupun Perumnas sudah dicanangkan sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno, namun pembangunan Perum Perumnas baru dimulai di era Presiden Sohearto, yakni pada tahun kedua Pelita II.

Sasarannya adalah masyarakat kota, dengan presentasi 80 persen keluarga berpenghasilan rendah, 15 persen keluarga menengah, dan 5 persen yang berpenghasilan tinggi.

Untuk memenuhi pemerataan pembangunan, Perumnas kemudian menetapkan kebijaksanaan untuk membangun di 77 kota. Ke-77 kota tersebut terdiri dari 27 ibu kota provinsi, 33 pusat pengembangan wilayah, dan 17 ibu kota kabupaten yang bukan pusat pengembangan wilayah namun berpenduduk 10 ribu orang.

Dikutip dari Kompas.com, menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar pemerintah Orde Baru memiliki struktur manajemen yang kuat, sehingga pembangunan perumahan selalu meningkat dari waktu ke waktu.

Dimulai pada 1969 saat itu hanya 1.000 unit rumah dibangun oleh Perumnas, kemudian meningkat menjadi 73.914 unit pada 1979 karena adanya partisipasi tambahan dari Real Estate Indonesia (REI). Pembangunan kembali meningkat pada 1984 menjadi 233.770 unit, dan menjadi 300.280 unit pada 1994.

Memasuki 1998 atau pada saat Orde Baru berakhir, pembangunan menurun menjadi 238.074 unit, lantaran gejolak politik yang terjadi pada saat itu.

Sektor perumahan memiliki peran strategis bagi pemerintah jika ingin mempertahankan kekuasaannya. Menurut Jehan, hal tersebut merupakan alasan menteri perumahan di era Orde Baru selalu dipegang oleh orang kuat.

"Kalau dulu, itu (Menpera) nomor satu menteri berpengaruh politik posisinya. Orang kuat yang tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di partai politik," kata Jehan dalam sebuah diskusi bertajuk '20 Tahun Refleksi Kebijakan Perumahan' di Jakarta, Rabu (16/5/2018) dikutip dari Kompas.com.

Hal ini tidak terlepas dari kompleksnya masalah penyediaan perumahan bagi masyarakat. Tak hanya menyediakan rumah dengan harga yang lebih terjangkau, tetapi juga meningkatkan pembangunan serta memperluas cakupan wilayahnya, agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

Tak hanya itu, perumahan juga dianggap sebagai salah satu sektor paling berpengaruh yang menjadi pendorong pembangunan perekonomian negara. Tidak mengherankan, bila kemudian sektor perumahan selalu mendapat perhatian dari masa ke masa.

Setelah Reformasi, usaha untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat masih terus berjalan. Hanya saja, program-program pembangunan perumahan ini tidak semasif di era Orde Baru.

Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana. Rumah itu ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 5,5 juta per bulan.

Tapi program tersebut macet pada tahun 2013 atau setelah enam tahun digulirkan. Sebenarnya, sejak 2010, pengembang sudah menghentikan pembangunan proyek rumah susun sederhana milik bersubsidi (rusunami) atau rumah sejahtera susun bersubsidi.

Menurut Kompas.com, kendala regulasi, minimnya insentif, membuat proyek rumah susun subsidi tidak lagi menarik minat pengembang. Kemacetan program rumah susun (rusun) terutama terjadi di DKI Jakarta, padahal kebutuhannya mencapai 60 persen dari total kebutuhan rusun bagi masyarakat menengah bawah.

Selain itu, meski disebut bersubsidi, namun patokan harga rusunami dinilai sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Patokan harga maksimum rumah susun bersubsidi juga terus naik, dari semula Rp 144 juta per unit saat program diluncurkan tahun 2007, kini sudah Rp 216 juta per unit.

Pada 2010, lahir program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Program FLPP ini diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan menengah bawah (MBM) dalam menjangkau harga rumah.

Mengutip Kompas.com, pemerintah melalui Kemenpera dan bekerja sama dengan Bank BTN akan memberikan subsidi kepada masyarakat berdasarkan daya beli atau penghasilan masyarakat bukannya pada harga jual rumah.

Dalam kesepakatan bersama ini, ruang lingkup bantuan FLPP dalam rangka pengadaan perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera, ini meliputi 4 hal antara lain KPR Sejahtera Tapak, KPR Sejahtera Susun, KPR Sejahtera Syariah Tapak, dan KPR Sejahtera Syariah Susun.

Berdasarkan kesepakatan dan perjanjian kerjasama ini, Kemenpera dan Bank BTN sepakat untuk memfasilitasi MBM dan MBR dalam pemilikan rumah melalui penerbitan KPR Sejahtera dengan tingkat suku bunga yang dibebankan pada MBM dan MBR lebih kecil dari 10 persen (single digit).

Program sejuta rumah Joko Widodo

Terkait perumahan rakyat, yang paling baru tentu Program Sejuta Rumah yang dicanangkan opleh Presiden Jokowi. Groundbreaking dan peresmian Program Sejuta Rumah dipusatkan di Ungaran, Jawa Tengah, dan secara serentak dilakukan di sembilan provinsi di Indonesia, pada Rabu (29/4/2015).

Kesembilan wilayah tersebut adalah Nias Utara, Jakarta, Bantaeng, Ungaran, Tangerang, Cirebon, Malang, Kota Waringin Timur, dan Palembang. Menurut Jokowi, kebijakan pemerintah di bidang perumahan melalui Program Sejuta Rumah setiap tahun diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti kelompok nelayan, pekerja, buruh, PNS, TNI, dan Polri.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan lebih dari 3,5 juta rumah terbangun sejak awal berjalannya program tersebut hingga tahun 2018.

“Total capaian Program Sejuta Rumah selama empat tahun sejak 2015 hingga 2018 sebanyak 3.542.318 unit rumah,” ujar Khalawi kepada Kompas.com, Senin (29/4/2019).

Pencapaian pembangunan rumah setiap tahun terus bertambah. Menurut Khalawi, tercatat rumah yang dibangun pada 2015 sebanyak 699.770 unit, kemudian 805.169 unit rumah pada 2016.

Berikutnya, pada 2017 terdapat 904.758 unit rumah yang berhasil dibangun, dan dilanjutkan pencapaian 1.132.621 unit rumah pada 2018. Di tahun 2020, ditargetkan bisa dibangun 1,25 juta unit rumah, setelah pada tahun 2019 Data Kementerian PUPR menyebutkan, per 31 Desember 2019 mencapai 1.257.852 unit.

Begitulah sejarah kebijakan perumahan rakyat di Indonesia yang pondasinya sudah ada sejak zaman Belanda.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News