Find Us On Social Media :

Menara The East Disita Terkait BLBI, Begini Perjalanan Kasus BLBI Yang Merugikan Negara Hingga Ratusan Triliun Itu

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 25 Juli 2023 | 16:13 WIB

Satgas BLBI menyita gedung The East milik besan Setya Novanto, Setiawan Harjono, terkait talangan dana BLBI.

Satgas BLBI menyita gedung The East milik besan Setya Novanto, Setiawan Harjono, terkait talangan dana BLBI.

Intisari-Online.com - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) menyita menara The East yang berlokasi di bilangan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Penyitaan itu, mengutip laporan Kompas.com, dilakukan sebagai upaya pemulihan aset pemerintah dari obligor Bank Asia Pacific atas nama Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.

Setiawan sendiri adalah besan Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang sekarang mendekam di penjara karena korupsi e-KTP.

Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban menjelaskan, pihaknya menyita tanah beserta 177 unit dari 254 unit The East Tower yang dimiliki oleh PT Gentamulia Infra.

Seluruh aset tersebut memiliki total luas 26.715,59 meter persegi (m2), dan estimasi nilai aset sebesar Rp 786 miliar.

Terkait penyitaan menara The East yang disangkutkan dengan kasus BLBI, sebenarnya bagaimana sih sejarahnya sampai muncul dana talangan yang jumlahnya fantastis ini?

Krisis moneter yang terjadi pada 1998 memang dampaknya terasa sekali untuk dunia keuangan dan perbankan di Indonesia.

Banyak bank yang kolaps dan mengkis-mengis.

Semua berawal ketika pemerintah ingin menyelematkan kondisi perekonomian di Indonesia akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Ketika itu, 1 dolar AS setara dengan Rp15 ribu.

Kondisi itu menyebabkan terjadinya penarikan uang berjamaah di bank-bank di Indonesia pada 1997.

Mau tidak mau, itu membuat likuiditas di perbankan tanah air pun terkuras hingga berujung pada kredit perbankan macet.

Untuk mengetasi hal itu, pemerintah dan Bank Indonesia sepakat menanggung beban itu bersamaa.

Caranya, melalui skema bantuan yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI.

Kebetulan, ketika itu Dana Moneter Internasional alias IMF juga meminta pemerintah untuk menyelamatkan sejumlah bank yang terpengaruh krisis.

Lalu pada Desember 1998, BI mengucurkan bantuan kepada 48 bank yang ada di Indonesia melalui BLBI.

Dana yang dikucurkan mencapai Rp144,53 triliun.

Tapi sial, dana kucuran itu justru membuat negara merugi, ruginya besar banget.

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2000, pihaknya menemukan ada indikasi kerugian negara yang mencapari Rp138,7 triliun.

Tak hanya itu, menurut temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ada 28 bank penerima BLBI yang melakukan penyelewengan.

Besarnya hingga Rp54,5 triliun.

Lalu pada 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002.

Inpres itu berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menuntaskan kewajiban atau yang mangkir dari kewajiban.

Selain Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga disuruh menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi bank-bank yang sudah beres membayar utang.

Sebaliknya, bank yang belum membayar utang akan diberi sanksi.

Seturut kemudian, setidaknya ada 12 debitur yang mendapatkan SKL pada masa Megawati.

Tapi Inpres tersebut bukan tanpa kejanggalan.

Ada indikasi personal approach dari para pedibor kepada pemerintah.

Di antaranya adalah Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Nin King (Bank Danahutama), Ibrahim Risjad (Bank RSI), lalu Sudwikatmono (Bank Surya).

Ada juga Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (Bank BCA), Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya), dan Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade).

Tak ketinggalan juga nama Philip S. Widjaja (Bank Mashill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), dan Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia).

Bankir lain yang diduga menyelewengkan dana BLBI juga diburu lalu dibawa ke pengadilan.

Misalnya Hendro Budiyanto, Paul Soetopo Tjokronegoro, dan Heru Supratomo.

Mereka semua jadi tersangka kasus korupsi dana BLBI.

Dan lain sebagianya.

Terkait kasus BLBI, salah satu nama menyita perhatian adalah Hendra Rahardja.

Dia divonis seumur hidup karena telah menyelewengkan dana BLBI sebesar Rp2,65 triliun.

Pada 2008, KPK menyatakan siap membantu mengusut penyelewengan dana BLBI.

Hasilnya adalah Sjamsul Nursalim.

Pada 2004, Nursalim sejatinya sudah mendapatkan SKL dari BPPN, tapi setelah diusut oleh KPK, ternyata da dugaan kerja sama antara Nursalim dan mantan Kepala BPPN SYafurddin Arsyad Temenggung.

Syafruddin kemudian divonis 13 tahun penjara karena dianggap merugikan negara dengan membantu Nursalim menggelapkan dana Rp4,5 triliun.

Pada 2018 Syafruddin mengajukan banding, tapi malah mendapat penambahan vonis dua tahun penjara.

Pada 2019, Syafruddin bebas setelah keluar keputusan MK yang mengabulkan kasasinya.

Nursalim sendiri, bersama istrinya, Itjih, ditetapkan sebagai tersangka pada 2019.

Tapi mereka kabur ke Singapur hingga berstatus sebagai buron.

Lalu pada 2021, KPK menghentikan penyidikan kasus Nursalim dengan menerbitkan SP3.

Begitulah perjalanan kasus penyelewengan dana BLBI.