UU ini juga menetapkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Gubernur Provinsi Timor Timur.
Integrasi ini ditentang oleh Fretilin yang terus melakukan perlawanan bersenjata di pegunungan selama dua dekade berikutnya.
Referendum Kedua: Jalan Menuju Kemerdekaan Kembali
Pada akhir tahun 1990-an, terjadi perubahan politik besar-besaran di Indonesia.
Presiden Soeharto lengser dari jabatannya akibat tekanan reformasi. Presiden baru, B.J. Habibie, membuka kesempatan bagi Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum kedua.
Referendum ini diselenggarakan pada 30 Agustus 1999 dengan pengawasan PBB⁴.
Referendum kedua ini menawarkan dua pilihan: otonomi khusus dalam bingkai NKRI atau kemerdekaan penuh dari Indonesia.
Hasilnya, sekitar 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih kemerdekaan.
Namun, hasil ini tidak diterima oleh kelompok-kelompok pro-Indonesia yang melakukan aksi kekerasan dan pembantaian terhadap pendukung kemerdekaan.
PBB kemudian mengirim pasukan perdamaian untuk mengamankan situasi.
Pada 19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR menyetujui hasil referendum Timor Timur yang artinya Timor Timur lepas dari NKRI.
Pada 20 Mei 2002, Timor Leste secara resmi menjadi negara merdeka dan berdaulat dengan Xanana Gusmão sebagai presiden pertamanya.