Find Us On Social Media :

Teruo Nakamura, Tentara Jepang Terakhir yang Menyerah di Indonesia

By Afif Khoirul M, Senin, 3 Juli 2023 | 18:00 WIB

Sosok Teruo Nakamura, tentara Jepang terakhir yang menyerah ke Indonesia.

Intisari-online.com - Teruo Nakamura adalah seorang prajurit dua Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang lahir di Taiwan pada tahun 1919.

Ia bertempur untuk Jepang dalam Perang Dunia II dan baru menyerah pada tahun 1974 di Pulau Morotai, Indonesia

Merupakan salah satu dari sekian banyak tentara Jepang yang menolak menyerah setelah berakhirnya perang dan juga yang dikonfirmasi sebagai yang terakhir.

Dinas Militer

Nakamura berasal dari suku Ami, penduduk asli Taiwan, yang saat itu menjadi koloni Jepang.

Ia terkena wajib militer dan dimasukkan ke dalam sebuah Unit Sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada bulan November 1943.

Ia ditempatkan di Pulau Morotai, di Hindia Belanda yang diduduki Jepang, tak lama sebelum pulau tersebut ditaklukkan oleh Sekutu pada bulan September 1944 dalam Pertempuran Morotai.

Kemudian dinyatakan tewas pada bulan Maret 1945.

Setelah pulau itu direbut, kelihatannya Nakamura tinggal bersama sejumlah prajurit Jepang lain yang tidak mau menyerah di pulau tersebut hingga dekade 1950-an, walau juga beberapa kali hidup sendirian selama jangka waktu cukup lama.

Pada tahun 1956, ia kelihatannya berkeputusan untuk tak mengikatkan diri lagi dengan para prajurit lain yang tak mau menyerah di pulau tersebut, dan mulai membangun sebuah kamp kecil miliknya sendiri, yang terdiri dari sebuah pondok kecil di dalam ladang berpagar seluas 20 kali 30 meter.

Ketika ditanyakan alasannya meninggalkan para prajurit yang lain, Nakamura mengklaim mereka mencoba membunuh dirinya; tapi, klaim ini disangkal oleh tiga prajurit lain dari kelompoknya, yang telah ditemukan pada dekade 1950-an.

Baca Juga: Mengapa Jepang Menyatakan Menyerah Tanpa Syarat Kepada Sekutu?

Penemuan

Pada pertengahan tahun 1974, seorang warga Desa Pilowo, Pulau Morotai, Kabupaten Maluku Utara bernama Luther Goge datang ke Markas Komando Sektor Kepolisian (Makosek) Pulau Morotai.

Komandan Sektor (Dansek), Kapten Polisi Lawalata, yang menerima laporan tentang adanya prajurit Jepang tua yang hidup bersembunyi di hutan hujan tropis di kaki Pegunungan Galoka.

Luther mengatakan, bahwa ayahnya yang bernama Baicoli, bersahabat dengan Nakamura selama puluhan tahun.

Ayahnya bertemu Nakamura saat sedang berburu babi hutan.

Baicoli kerap mengunjungi Nakamura di tempat persembunyiannya untuk membawakan bahan-bahan makanan yang dibutuhkan seperti gula, garam, atau teh.

Berdasarkan informasi tersebut, pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan berhasil menemukan pondok Nakamura pada tanggal 18 Desember 1974.

Mereka kemudian mengirimkan sebuah surat kepada Nakamura melalui Baicoli, yang berisi permintaan agar ia menyerahkan diri secara damai.

Surat itu juga menjelaskan bahwa perang telah berakhir sejak lama dan Jepang telah kalah. Nakamura awalnya tidak percaya dengan surat itu dan mengira itu adalah sebuah tipu muslihat musuh.

Namun, setelah mendapatkan bukti berupa foto-foto dan surat-surat dari pemerintah Taiwan dan Jepang, ia akhirnya bersedia menyerah pada tanggal 28 Desember 1974.

Kontroversi

Status Nakamura sebagai tentara Jepang atau Taiwan menjadi sumber kontroversi antara kedua negara.

Pemerintah Jepang menganggap Nakamura sebagai warga negara Taiwan, karena ia lahir di sana saat Taiwan masih menjadi bagian dari Jepang.

Baca Juga: Sosok Masabumi Hosono, Penumpang Titanic yang Dihujat karena Selamat

Pemerintah Taiwan menganggap Nakamura sebagai warga negara Republik Tiongkok, karena ia lahir di sana saat Republik Tiongkok masih berkuasa di Taiwan.

Kedua negara juga berselisih tentang apakah Nakamura layak mendapatkan gaji dan pensiun sebagai tentara Jepang atau tidak.

Pemerintah Jepang awalnya menolak untuk memberikan gaji dan pensiun kepada Nakamura, dengan alasan bahwa ia bukan warga negara Jepang dan bahwa ia tidak berada di bawah perintah militer Jepang saat ia menyerah.

Namun, setelah mendapat tekanan dari opini publik dan media, pemerintah Jepang akhirnya setuju untuk memberikan gaji dan pensiun kepada Nakamura sebesar 68 juta yen (sekitar 9,5 miliar rupiah) pada tahun 1975.

Pemerintah Taiwan juga memberikan gaji dan pensiun kepada Nakamura sebesar 20 juta dolar Taiwan (sekitar 9,7 miliar rupiah) pada tahun yang sama.

Repatriasi

Nakamura kembali ke Taiwan pada tanggal 13 Maret 1975, setelah menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologis di Jakarta.

Ia disambut oleh keluarganya, termasuk istrinya yang telah menikah lagi dengan pria lain, dan empat anaknya yang telah dewasa.

Juga disambut oleh pejabat-pejabat pemerintah Taiwan dan Jepang, serta wartawan-wartawan dari berbagai media. Ia diberi nama baru oleh pemerintah Taiwan, yaitu Lee Guang-Hui (李光輝), sebuah nama yang baru ia ketahui setelah ia direpatriasi.

Nakamura tinggal di sebuah rumah sederhana di desa asalnya, Tamazato, di Kabupaten Taitung, Taiwan.

Ia bekerja sebagai petani dan menjalani kehidupan yang tenang dan sederhana. Ia jarang berbicara dengan orang lain dan lebih suka menyendiri. Ia juga tidak pernah kembali ke Jepang atau Indonesia.

Kemudian meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1979, akibat serangan jantung.

Dia dimakamkan di desanya dengan upacara militer yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah Taiwan dan Jepang.