Find Us On Social Media :

Perjalanan Hidup Buya Hamka: Dari Minangkabau hingga Ketua MUI Pertama

By Ade S, Sabtu, 1 April 2023 | 14:14 WIB

Buya Hamka

Intisari-Online.com - Buya Hamka adalah salah satu tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia yang memiliki banyak prestasi dan pengaruh.

Kehidupan dan pemikirannya akan segera ditampilkan dalam film biopik yang dibintangi oleh Vino Bastian dan disutradarai oleh Fajar Bustomi.

Film ini akan dibagi menjadi tiga volume yang mengisahkan perjalanan Buya Hamka dari lahir hingga menjadi ketua MUI pertama.

Namun, sebelum menonton filmnya, ada baiknya kita mengenal lebih jauh tentang sosok Buya Hamka melalui artikel ini.

Artikel ini akan membahas tentang latar belakang, pendidikan, perjuangan, kepemimpinan, dan warisan Buya Hamka yang patut dicontoh dan diteladani oleh kita semua.

Masa Kecil dan Pendidikan

Buya Hamka lahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah pada tanggal 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat.

Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Syekh Abdul Karim Amrullah dan Sitti Shafiyah.

Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal dengan julukan Haji Rasul.

Buya Hamka menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya dan mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya.

Baca Juga: Buya Hamka: Sang Legenda yang Membawa Islam Moderat di Indonesia

Ia juga belajar membaca Al-Quran dari ibunya sejak usia lima tahun.

Pada usia sembilan tahun, Buya Hamka mengikuti ayahnya berdagang ke Medan.

Di sana, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS), selama dua tahun

Ia kemudian pindah ke Padang Panjang dan belajar di sekolah Melayu, Sumatera Thawalib, selama tiga tahun.

Di sekolah ini, ia bertemu dengan ulama-ulama besar seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, dan Ahmad Hassan.

Ia juga mulai menulis artikel-artikel agama untuk majalah Al-Munir yang diterbitkan oleh sekolahnya.

Pada tahun 1925, Buya Hamka kembali ke Maninjau dan mendirikan sebuah surau bernama Darul Maarif.

Surau ini menjadi tempat ia mengajar agama kepada masyarakat sekitar. Ia juga aktif menulis buku-buku agama seperti Tafsir Al-Azhar, Falsafah Hidup, dan Lembaga Hidup.

Selain itu, ia juga menulis novel-novel yang mengandung nilai-nilai Islam seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli.

Masa Perjuangan dan Kepemimpinan

Pada tahun 1930, Buya Hamka bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi salah satu pengurusnya.

Baca Juga: Diklaim Sebagai Karya Agung Buya Hamka, Benarkah Tafsir Al-Azhar Dirampungkan di Dalam Penjara?

Ia juga menjadi wartawan untuk majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan oleh Muhammadiyah.

Ia menggunakan nama pena HAMKA untuk menulis artikel-artikel tentang politik, sosial, budaya, dan agama.

Ia juga menjadi redaktur untuk majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Mohammad Natsir.

Pada masa penjajahan Jepang, Buya Hamka ditangkap dan dipenjara karena menolak bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Ia baru dibebaskan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Setelah itu, ia kembali aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk oleh Jepang untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia.

Ia juga menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyusun dasar negara dan UUD 1945.

Pada tahun 1949, Buya Hamka terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante yang mewakili Partai Masyumi.

Ia juga menjadi salah satu pendiri dan pemimpin redaksi majalah Gema Islam yang menjadi media dakwah dan perjuangan Masyumi.

Namun, pada tahun 1960, Masyumi dilarang oleh pemerintah Sukarno karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI.

Buya Hamka pun ditangkap dan dipenjara selama tiga tahun tanpa pengadilan.

Setelah dibebaskan pada tahun 1964, Buya Hamka mengundurkan diri dari dunia politik dan lebih fokus pada kegiatan keagamaan dan keilmuan.

Baca Juga: Benarkah Teori Makkah Jadi Teori Masuknya Islam di Indonesia yang Paling Kuat?

Ia menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar, yang merupakan tafsir Al-Quran berbahasa Indonesia pertama yang ditulis secara sistematis dan komprehensif.

Ia juga menulis sejumlah buku lain seperti Sejarah Umat Islam, Ayahku, Kenang-kenangan Hidup, dan Pelajaran Agama Islam.

Pada tahun 1975, Buya Hamka terpilih sebagai ketua MUI pertama.

Ia berperan aktif dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan yang relevan dengan perkembangan zaman dan tantangan umat Islam.

Ia juga menjadi tokoh sentral dalam menyatukan berbagai aliran dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai ulama yang moderat, toleran, dan berwawasan luas.

Masa Akhir dan Warisan

Buya Hamka menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Ia meninggal karena serangan jantung setelah menjalani operasi usus buntu.

Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ribuan orang menghadiri pemakamannya dan memberikan penghormatan terakhir kepada ulama besar ini.

Buya Hamka meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Ia diakui sebagai salah satu tokoh pembaru Islam yang mampu menggabungkan antara tradisi dan modernitas, antara ilmu agama dan ilmu dunia, antara nasionalisme dan universalisme.

Ia juga dihormati sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.

Karya-karya Buya Hamka masih relevan hingga saat ini sebagai sumber inspirasi dan rujukan bagi generasi muda.

Novel-novelnya masih diminati oleh para pecinta sastra dan budaya. Tafsir Al-Azhar masih menjadi acuan bagi para penafsir Al-Quran.

Buku-buku keagamaannya masih menjadi bahan ajar bagi para pelajar dan mahasiswa. Fatwa-fatwanya masih menjadi pedoman bagi para ulama dan umat Islam.

Buya Hamka adalah sosok yang patut dicontoh dan diteladani oleh kita semua.

Ia adalah seorang ulama yang berilmu luas, beramal saleh, bermoral mulia, berjiwa besar, berpikiran terbuka, bersikap adil, berani membela kebenaran, dan mencintai tanah airnya.

Baca Juga: Alasan Buya Hamka Menolak Teori Gujarat dan Pilih Teori Makkah