Find Us On Social Media :

Ritual Bakar Tongkang, Festival Tahunan Migran China di Kota Bagansiapiapi, Tentukan Nasib di Tahun Mendatang dari Arah Jatuhnya Tiang Utama Replika Kapal

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 16 Juli 2022 | 18:20 WIB

Ritual Bakar Tongkang, Festival tahunan Kota Bagansiapiapi, Riau.

Intisari-Online.com – Hampir setiap tahun ritual Bakar Tongkang ini mampu menyedot wisatawan dari negara Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan, hingga China Daratan, bahkan gencar dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai sumber pariwisata.

Ritual Bakar Tongkang adalah tradisi unik yang melegenda bagi masyarakat China di Bagansiapiapi, Rokan Hilir, Riau.

Kota Bagansiapiapi selain terkenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan dengan pelabuhan terbesar di tanah air pada masa lampau, juga karena tradisi Bakar Tongkang ini.

Mengutip laman kebudayaan.kemendikbud, ritual Bakar Tongkang ini merupakan keputusan para migran China pertama yang meninggalkan tanah air mereka dan memutuskan untuk menetap di Riau, Sumatera.

Bakar Tongkang berarti membakar kapal (terakhir) tempat mereka berlayar.

Diyakini, ritual Bakar Tongkang ini berasal pada tahun 1826, yang berakar dari sejarah ketika para imigran China pertama kali menginjakkan kaki di daerah tersebut dan kemudian memberikan nama teresbut ke tanah yang sekarang dikenal sebagai Bagansiapiapi.

Dipercaya bahwa leluhur Bagansiapiapi merupakan orang Tang-lang keturunan Hokkien yang berasal dari Distrik Tong’an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina Selatan.

Mereka meninggalkan tanah air mereka dengan kapal yang memiliki pangkalan datar, yang biasa digunakan untuk mengangkut pasir dan tambang mineral, dan kemudian dikenal sebagai ‘tongkang’.

Pada awalnya, saat merantau itu mereka menggunakan 3 kapal tongkang, namun hanya ada satu kapal yang berhasil mencapai pulau Sumatera.

Kapal yang dipimpin oleh Ang Mie Kui itu berhasil tiba di Pantai Riau karena mengikuti sinar kunang-kunang yang berkedip-kedip, dalam bahasa lokal dikenal sebagai ‘siapi-api’.

Mereka tiba di tanah tanpa penghuni, yang terdiri dari rawa-rawa, hutan, dan padang rumput.

Mereka pun memutuskan untuk menetap di tempat itu, lalu memberi nama Bagangsiapiapi atau ‘Tanah Kunang-kunang’.

Bersumpah untuk tidak pernah kembali ke tanah air mereka, maka para migran ini pun membakar tongkang mereka, dan jadilah mereka sebagai nenek moyang kelompok etnis China di daerah tersebut.

Ritual Bakar Tongkang diadakan setiap tahun pada hari ke-16 bulan ke-5 menurut kalender China, dikenal juga sebagai Go Gek Cap Lak (dari kata Go berarti 5 dan Cak Lak yang berarti ke-16).

Ritual tersebut ditandai dengan aksi membakar replika kapal tradisional China sebagai puncak festival.

Selama festival tersebut, ritual dan doa oleh para peserta di kuil utama diadakan terlebih dahulu, lalu diikuti dengan prosesi budaya.

Berbagai atraksi oriental juga dipertunjukkan seperti Barongsai (Tarian Singa), panggung hiburan p un disiapkan untuk para pemain yang berasal dari Medan, Singkawang (Kalimantan Barat), serta dari negara tetangga Malaysia, Taiwan, dan Singapura yang membawakan lagu-lagu Hokkien.

Replika kapal dibuat berukuran hingga 8,5 meter, lebar 1,7 meter dan berat hingga 400 kg, yang disimpan selama satu malam di Kuil Eng Hong King, diberkati, kemudian dibawa dalam prosesi melalui kota ke situs tempat pembakaran.

Setiba di lokasi pembakaran, ribuan potongan kertas doa kuning akan melekat pada kapal membawa doa-doa dari orang-orang untuk leluhur mereka, sebelum kapal itu dibakar.

Di puncak ritual Bakar Tongkang, yang merupakan pembakaran replika kapal besar, kerumunan peserta mengantisipasi dengan cemas di mana tiang utama replika kapal itu akan jatuh.

Menurut kepercayaan, arah di mana tiang utama jatuh apakah menghadap ke laut atau menghadap ke daratan, akan menentukan nasib mereka di tahun mendatang.

Jika tiang jatuh ke laut, maka keberuntungan sebagian besar akan datang dari laut, sementara ketika tiang jatuh di darat, maka keberuntungan sebagian besar akan datang dari darat.

 Baca Juga: Passiliran, Ritual Pemakaman Suku Toraja, Tradisi Mengubur Bayi Meninggal di Lubang Pohon Besar, Ada Satu Syarat yang Tidak Boleh Dilanggar

 Baca Juga: Ritual Kematian ‘Menara Keheningan’ Tradisi Zoroastrian, Memurnikan Orang Meninggal pada Unsur-unsur dan Unggas Lokal di Atas Menara Datar

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di