Passiliran, Ritual Pemakaman Suku Toraja, Tradisi Mengubur Bayi Meninggal di Lubang Pohon Besar, Ada Satu Syarat yang Tidak Boleh Dilanggar

K. Tatik Wardayati

Penulis

Passiliran, ritual pemakaman bayi tradisi Suku Toraja, memakamkan bayi meninggal di batang pohon besar.

Intisari-Online.com – Salah satu suku di Indonesia ini terkenal dengan tradisi pemakamannya yang unik.

Masyarakat Suku Toraja terkenal karena tradisi pemakamannya yang unik, mulai dari upacara adat yang megah, hingga tempat khusus untuk memakamkan jenazah.

Ada beberapa tempat yang memungkinkan orang Toraja memakamkan keluarganya, mulai dari pemakaman di gua, sisi tebing, liang batu, hingga kuburan berbentuk rumah yang disebut patane.

Tahukah Anda bila mereka juga memiliki tradisi memakamkan keluarga di dalam pohon besar?

Ya, Anda tidak salah membacanya.

Tradisi pemakaman orang Toraja di sebuah batang pohon besar menjadi perhatian banyak pihak, bahkan kini pohon-pohon itu menjadi salah satu objek wisata di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Tepatnya di Desa Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 kilometer dari Rantepao, ibukota Kabupaten Tana Toraja.

Di desa ini, pohon tarra tumbuh dan menjadi tempat untuk memakamkan bayi.

Bayi yang berusia di bawah enam bulan (dan tanpa gigi) dianggap suci oleh orang Toraja.

Bayi-bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi ini tidak dikubur di tebing-tebing atau gua, tetapi dimakamkan di sebuah pohon besar yang diameternya bisa mencapai 100 cm, yaitu pohon tarra.

Maka, jika bayi orang Toraja meninggal sebelum mencapai usia enam bulan, mereka dibungkus dengan daun enau dan dikubur di dalam lubang pohon tarra.

Tradisi menguburkan di dalam pohon tarra, ini melambangkan kembalinya bayi ke dalam rahim sang ibu, ini menurut kepercayaan masyarakat Torajat pengikut Aluk Todolo atau kepercayaan kepada leluhur.

Tradisi pemakaman bayi ini disebut passiliran.

Mengapa dipilih pohon tarra?

Pohon tarra menjadi pilihan tidak hanya karena ukurannya yang besar, tetapi juga memiliki getah berlimpah.

Getah ini dipercaya masyarakat Torajat bisa menggantikan air susu ibu untuk bayi yang sudah meninggal itu.

Namun, jika bayi yang meninggal itu sudah tumbuh gigi, maka dia akan dimakamkan di batu dengan dibungkus pakaian putih tanpa peti mati, begitu juga dengan janin akibat keguguran.

Lubang di pohon tarra untuk menaruh jenazah bayi dibuat sedemikian rupa menyerupai dengan rahim.

Lalu, bayi diletakkan di pohon tanpa dibungkus sehelai kain pun dengan posisi meringkuk, setelah itu lubang ditutup dengan ijuk pohon enau.

Lubang yang dibuat di pohon juga mempertimbangkan arah tempat tinggal keluarga, biasanya akan menghadap rumah keluarga si bayi.

Meskipun sudah dilubangi, namun pohon tarra tetap bisa tumbuh dengan baik, dan lubang tempat memakamkan bayi itu akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun.

Dalam satu pohon tarra tidak hanya diisi satu kuburan bayi, tetapi bisa memuat lebih dari 10 bayi, ini bisa dilihat dari kotak-kotak serupa jendela dari ijuk pada pohon tersebut.

Meski pohon tarra menjadi tempat persemayaman jenazah bayi selama bertahun-tahun, namun Anda tidak akan mencium bau busuk meski lubang pohon itu hanya ditutup ijuk bila Anda mengujungi Desa Kambira.

Pohon tarra yang besar itu tak akan pernah kehabisan tempat menjadi kuburan baru untuk bayi, membuat masyarakat Torajat tak perlu kesulitan untuk memakamkan bayi mereka.

Masyarakat Torajat percaya bahwa bayi yang telah meninggal itu kembali tubuh dan besar seiring tumbuhnya pohon tarra, yang tidak boleh ditebang karena dianggap memutus kelanjutan hidup sang bayi.

Uniknya lagi, posisi lubang kuburan juga menentukan kasta keluarga sang bayi, semakin tinggi kastanya dalam masyarakat, maka lubang kuburan di batang pohon pun semakin tinggi.

Menurut kepercayaan Suku Toraja, memakamkan bayi yang belum tumbuh gigi di batang pohon bila dimakamkan seperti orang dewasa, maka jiwanya akan merayap seperti ular dan disambar petir untuk diselamatkan.

Oleh karena itu jenazah bayi dimakamkan secara khusus.

Ada satu syarat yang harus dilakukan ketika dilaksanakan ritual pasilliran, yaitu ibu kandung bayi tidak diperbolehkan melihat proses penyimpanan bayi di pohon.

Ibu bayi yang meninggal juga tidak boleh melihat kuburan anaknya itu selama setahun.

Menurut kepercayaan suku Toraja, jika sang ibu mleihat bayi yang sudah meninggal akan membuat dia kesulitan mendapatkan bayi yang sehat kelak dan ini juga dianggap sebagai hal yang tidak pantas.

Meski tradisi ini perlahan memudar, namun kuburan bayi ini masih bisa ditemukan di Tana Toraja sebagai salah satu cara melestarikan budaya asli.

Baca Juga: Uniknya Suku Toraja: Menyalakan Sebatang Rokok untuk Mayat dalam Tradisi Tahunan, Meski Sudah Meninggal Tetap Diberi Makan 3 Kali Sehari

Baca Juga: Ritual Kematian ‘Menara Keheningan’ Tradisi Zoroastrian, Memurnikan Orang Meninggal pada Unsur-unsur dan Unggas Lokal di Atas Menara Datar

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait