Penulis
Intisari-Online.com - Express.co.uk, Kamis (10/3/2022) memberitakan bahwa pejabat AS mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin bisa ambil tindakan 'gegabah' jika Ukraina tidak berhenti melawan.
“(Amerika Serikat) memiliki senjata yang lebih canggihuntuk mencegah konflik konvensional."
"Rusia memiliki senjata nuklir sebagai bagian dari rencana pertempuran perang,” katanya.
Pada hari Selasa, direktur CIA William Burns mengatakan kepada Komite Intelijen DPR bahwa militer Rusia mempertimbangkan untuk menggunakan senjata nuklir taktis yang lebih kecil.
Burns berkata:
"Anda tahu, doktrin Rusia menyatakan bahwa konflik meningkat kede-eskalasi, dan saya pikir risikonya juga meningkat."
Demikian pula, seorang mantan pejabat Gedung Putih mengatakan kepada Defense One bahwa ada peningkatan risiko penggunaan senjata nuklir oleh Rusia.
Diamenggambarkan senjata itu sebagai "alat perang" bagi Putin.
Rusia juga dituduh meninggalkan mayat tentaranya yang tewas di Ukraina.
Hal itu dilakukan sebagai upayamenyembunyikan tingkat kerugian yang sebenarnya.
Scott Berrier, direktur badan intelijen pertahanan AS, mengatakan Putin telah memperbarui persenjataannya saat berkuasa, dan "berinvestasi dalam senjata nuklir taktis".
Bulan lalu, Putin membuat pengumuman mengejutkan bahwa ia telah menempatkan pasukan nuklir Rusia dalam siaga tinggi yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan menyebar ke seluruh Barat.
Intelijen AS mengatakan Putin yang 'marah' sesungguhnya sedang frustasi lantaran invasinya tak berjalan sesuai rencana.
Begitu jugadengan ancaman nuklirnya yang menghasut ke negara-negara Barat.
Avril Haines, direktur Intelijen Nasional, mengatakan pada pertemuan Komite Intelijen DPR kemarin:
"Kami menilai Putin merasa dirugikan karena Barat tidak memberinya penghormatan yang layak dan menganggap ini sebagai perang yang tidak bisa dia kalahkan."
Dia menambahkan:
"Tapi apa yang mungkin dia terima sebagai kemenangan dapat berubah seiring waktu."
Ukraina mengklaim telah membunuh sembilan komandan militer Putin dan 12.000 tentara Rusia sejak awal invasi.
(*)