Penulis
Intisari - Online.com - Tidak dipungkiri sepanjang Sungai Mekong, pengaruh China sudah tampak menjamur.
Bangunan-bangunan tinggi dan mewah China menyebar di sisi perbatasan sepi utara Laos, menunjukkan harapan dan ketakutan mengenai pengaruh Beijing dan niat mereka di Thailand.
Namun, tidak akan ada pengaruh China tanpa Amerika Serikat (AS) yang ikut campur juga di dalamnya.
Melansir Asia Times, Central Intelligence Agency (CIA) melalui kepalanya baru-baru ini mengunjungi Bangkok di tengah gencaran tawaran militer AS khusus kepada Thailand.
Kunjungan ini bisa saja membuat Thailand kembali kepada AS dan menjauh dari China di masa depan.
Namun permusuhan mereka kian memanas.
"Thailand telah condong ke China dan jauh dari AS selama dua puluh tahun," ujar Benjamin Zawacki, penulis Amerika di Bangkok yang menulis Thailand: Shifting Ground Between the US and a Rising China.
"Dalam urusan militer, hubungan dengan AS sudah pasti lebih dalam tapi jaraknya menutup dengan pelan," ujar Zawacki dilansir dari Asia Times.
Banyak warga Thailand merayakan leluhur China yang sudah ada lebih dari 700 tahun yang lalu, kontras dengan hukuman dan pembantaian yang mereka alami di Thailand selama pembersihan komunis yang dipimpin oleh AS pada pertengahan abad ke-20.
Sekolah-sekolah China, koran-koran dan fasilitas lain di Thailand dipaksa ditutup selama bertahun-rahun rasisme dan perlawanan politik, di tengah tuduhan ketidaksetiaan dan pemberontakan.
"Leluhur memainkan peran penting membawa dua negara menjadi makin dekat, dengan lebih banyak migran China pindah ke Thailand daripada negara-negara lain di Asia Tenggara," ujar presiden Dewan Hubungan Budaya Thailand-China, Pinit Jarusombat, mantan wakil perdana menteri.
Thailand diincar China sebagian karena cepatnya modernisasi negara Asia Tenggara yang disebabkan akses dekat Bangkok ke Teluk Thailand, yang menbuka jalan menuju Laut China Selatan.
Beijing dan Washington telah secara berbahaya memiliki pandangan berlawanan mengenai perbatasan teritorial Laut China Selatan, rute kapal, akses militer dan eksploitasi sumber daya alam.
Angkatan Laut AS memulai melatih Angkatan Laut Kerajaan Thailand dalam medan perang anti-kapal selam di tahun 2019, walaupun angkatan laut ingin membeli tiga kapal selam buatan China kelas Yuan S26T, senilai USD 400 juta masing-masingnya.
"Konflik bersenjara apapun di wilayah yang terkena dampak atau terlibat langsung dengan AS dan China akan mengubah kekuatan mana yang menduduki kelas tinggi maritim. Dinamika mengenai kapal selam adalah persaingan belaka," ujar Zawacki.
"Sejak kami sudah ada kapal selam pertama (yang disetujui), kapal selam kedua dan ketiga akan mengikutinya, tapi akan dilihat sebagai kapan," ujar Laksamana Muda Angkatan Laut Thailand Somprasong Nilsamai pada 6 Januari lalu.
Anggaran Bangkok sendiri menyusut gila-gilaan karena Covid-19 membuat pengiriman ketiga kapal selam tertunda.
Di Nong Khai, Thailand berharap menghasilkan dari jalur kereta buatan China sepanjang 414 kilometer dan dibanderol senilai USD 6 miliar yang menghubungkan Thailand dan Laos.
Jalur kereta itu akan selesai Desember di bawah megaproyek China, Belt and Road Initiative.
Rute baru menghubungkan provinsi Yunnan di China Selatan ke Vientiane, ibu kota Laos yang masih tidak berkembang dan negara terkunci, yang maksudnya tidak memiliki daerah pantai dan daerah laut, beberapa kilometer di seberang Nong Khai.
Ekspor dan impor yang disaranai oleh kereta China di Vientiane harus berpindah lewat jalan menyeberangi jembatan Mekong ke hulu jalur kereta Nong Khai, di mana kereta Thailand yang menghubungkan Bangkok dan tempat lainnya.
Jalur kereta Laos ke China "akan membuat Thailand secara ekonomi bergantung kepada Beijing, yang sendirinya akan mencari cara melindungi kepentingan geopolitik di Thailand," ujar Paul Chambers, pengajar di Universitas Naresuan Thailand, yang ahli dalam bidang hubungan internasional, militer dan kebijakan luar negeri Bangkok.
"Thailand telah menjadi pusat ketegangan dua kutub antara AS dan China," ujar Chambers.
Untuk menguatkan hubungan, Wakil Direktur CIA David Cohen terbang ke Bangkok November laku dan bertemu dengan Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha, pensiunan kepala angkatan darat Thailand yang menjadi PM dalam kudeta 2014 dan kemudian memenangkan pemilihan tahun 2019.
Pertemuan tertutup mereka dilaporkan menggarisbawahi politik Thailand, dan juga ekonomi serta keamanan regionalnya.
Sementara itu Ford Motor Co mengumumkan Desember kemarin akan menginvestasikan USD 900 juta dalam perwujudan pabrik mobil mereka di Thailand.
Firma AS lainnya juga menjanjikan investasi baru.
Amerika memang pasar ekspor terbesar Thailand.
"Sejak administrasi Biden mulai bekerja, AS harus mencapai mereka untuk mempertahankan dialog tertutup dengan rekan Thailand mereka," ujar juru bicara Menteri Luar Negeri Tanee Sangrat.
"Negara ini tidak pernah dilewatkan oleh AS sebelumnya," ujar Tanee.
Namun Thailand juga antusias dengan sistem telekomunikasi 5G dari Huawei, China.
Termasuk di dalamnya ponsel canggih, teknologi cloud, infrastruktur fiber, jasa medis dan kecerdasan buatan.
"Saya sangat terkesan dengan sejarah dan dedikasi Huawei," ujar PM Prayuth.
Kemenangan Taliban
Kemenangan terbaru Taliban atas AS di Afghanistan juga memiliki dampak menggebrak di Thailand.
"Banyak pejabat keamanan senior Thailand kecewa AS meninggalkan Afghanistan dan menyerah," ujar Chambers.
"Namun dengan meninggalkan Afghanistan, Washington memperhatikan Asia Timur dan China, dan mungkin bisa menawarkan lebih banyak bantuan ke Thailand. Itu sesuatu yang disukai Thailand."
Jet tempur siluman
Kepala Marsekal Udara Napadej Dhupatemiya ingin membeli 8 jet tempur F-35 buatan Lockheed Martin untuk mengganti F-5s dan F-16s yang sudah tua.
"Jet tempur F-35 tidak lagi sulit diraih karena harga per unit telah turun dari USD 82 juta dari awalnya USD 142 juta," ujar Napadej pada 4 Januari.
Tentara Kerajaan Thailand sudah menunggu pengiriman sekitar 60 unit pembawa personil bersenjata Stryker buatan AS.
Kendaraan itu adalah tipe kendaraan yang dikirimkan militer ketika menghancurkan perlawanan pro-demokrasi di Bangkok tahun 2010 ketika hampir 100 warga, sebagian besar warga sipil, meninggal dunia.
Bangkok adalah sekutu non-NATO yang dulunya dimanfaatkan Washington untuk meluncurkan serangkaian serangan pengeboman udara dan serangan darat melawan nasionalis komunis di Vietnam, Kamboja dan Laos selama Perang Vietnam di 1960-75 yang gagal.
Hantu dari pembantaian itu masih menghantui hubungan mereka.
"Kita tidak seharusnya menfikuti jalan suatu negara (maksudnya AS) yang di masa lalu membangun pangkalan militer di wilayah Thailand, dari mana mereka meluncurkan serangan melawan negara tetangga Thailand," ujar Pinit kepada Bangkok Post.
Kini, generasi baru Thailand juga diajari mengenai permusuhan AS-China.
"Globalisasi telah memberi keuntungan bagi warga miskin di China dan warga kaya di AS, bukan kelas menengah AS, memicu AS mencari kambing hitam," ujar direktur Arm Tungnirun dari Studi China, Chulalongkorn University.