Penulis
Intisari-Online.com -Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi masyarakat Idnonesia masih menganggap Tahun Baru Imlek sebagai salah satu festival terpenting tahun ini.
Seperti Vietnam, China dan beberapa negara Asia lainnya, Tahun Baru Imlek di Indonesia dirayakan pada hari pertama penanggalan lunar setiap tahun.
Media Vietnam Eva.vn, pada Minggu (30/1/2022) menyoroti perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia, Tahun Baru Imlek bukan hanya festival yang memadukan budaya Jawa dan Tionghoa, tetapi juga ekspresi toleransi dan kerukunan bangsa.
Menurut The Diplomat, Tahun Baru Imlek di Indonesia dikaitkan dengan sejarah perdagangan dan pemukiman para pedagang Tionghoa di kota Solo.
Antara abad ke-17 dan ke-18, Bengawan Solo menjadi jalur kehidupan perdagangan antara pedagang China dan penduduk asli Indonesia.
Selama beberapa dekade, semakin banyak pedagang China datang ke Solo untuk tinggal.
Bersama dengan penduduk asli Indonesia, mereka mendirikan Pasar Gede. Perdagangan di Pasar Gede sangat ramai.
Barang-barang yang dijual sebagian besar berasal dari China, membuat kekuatan para saudagar China di sini menjadi kuat.
Budaya Tionghoa juga mulai masuk ke Indonesia, terutama dengan lahirnya Grebeg Sudiro.
Menurut Jakarta Globe, untuk menghormati tanah air mereka, setiap tahun pada tanggal 1 kalender lunar, pedagang Tionghoa di Pasar Gede menghentikan semua aktivitas perdagangan dan produksi untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
Ini membuat operasi pasar terhenti dan membuat pelanggan lokal mereka tidak senang.
Namun, karena kekuatan ekonomi kelompok Tiongkoa di Pasar Gede terlalu besar, masyarakat Indonesia tidak bisa memaksa mereka untuk tidak merayakan Tahun Baru Imlek dan kembali membuka toko.
Untuk 'menyenangkan' para pedagang Tionghoa, banyak orang Indonesia juga membantu mereka merayakan Tahun Baru Imlek.
Pada abad ke-19, Tahun Baru Imlek menjadi salah satu hari libur besar de facto di Indonesia.
Dalam kurun waktu 1960-1998, akibat pengaruh Perang Dingin, kelas pedagang Tionghoa di Indonesia banyak mengalami kendala sosial dan politik.
Pada tahun 1967,Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Isi dari Inpres ini di antaranya adalah pelaksanaan Imlek yang harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.
Semua acara, kegiatan, dan tradisi untuk merayakan Tahun Baru Imlek tidak boleh dilakukan di tempat umum.
Penyiaran lagu, berita Tahun Baru dan tarian singa dan naga komunitas Tionghoa dilarang keras.
Selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, Tahun Baru Imlek di Indonesia hampir 'mati' dan hanya dipertahankan secara rahasia.
Pemerintah juga memaksa orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia untuk mengubah nama mereka menjadi nama Jawa.
Upaya ini merupakan bagian dari rencana Presiden Soeharto untuk mengasimilasi orang Indonesia Tionghoa ke dalam budaya asli.
Presiden Habibie dalam masa jabatannya yang singkat menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.
Inpres tersebut salah satunya berisi tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pada tahun 2000, Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa Tionghoa, Tionghoa Indonesia, dan Indonesia bebas merayakan Tahun Baru Imlek sesuai dengan adat istiadat.
Pada tahun 2002, Presiden Megawati memutuskan untuk mengakui Tahun Baru Imlek sebagai salah satu hari libur nasional terpenting di Indonesia.
Menurut Megawati, perayaan Imlek menunjukkan bahwa bangsa sepuluh ribu pulau adalah negara yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Saatini, di awal Tahun Baru Imlek, masyarakat Indonesia, Tionghoa, dan Indonesia keturunan Tionghoa bergembira merayakan festival Tahun Baru Imlek, terutama di kota Solo.