Penulis
Intisari-Online.com - Peristiwa Pralaya Medang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Medang, sebuah kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa Timur yang merupakan kelanjutan dari Mataram Kuno Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram Kuno, yang didirikan di Jawa Tengah pada abad ke-8, sempat mengalami beberapa kali pemindahan ibu kota hingga ke Jawa Timur.
Kemudian, periode kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur yang diperintah oleh Wangsa Isyana dikenal dengan nama Kerajaan Medang.
Tetapi, pada 1017 M, Kerajaan Medang sendiri akhirnya runtuh.
Itu terjadi usai Kerajaan Medang diserang Raja Wurawari, penguasa kerajaan kecil bawahan Mataram Kuno yang mendapat bantuan dari Sriwijaya.
Peristiwa yang dikenal sebagai Pralaya Medang itu menurut sejarawan dipicu oleh keputusan Raja Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya dengan Airlangga, seorang pangeran keturunan Bali.
Rupanya, keputusan tersebut harus 'dibayar mahal' dengan keruntuhan Kerajaan Medang Kamulan.
Raja Wurawari yang berambisi menikahi putri Raja Dharmawangsa Teguh agar dapat mewarisi takhta kerajaan merasa kecewa, sehingga menyerbu Kerajaan Medang, dan menewaskan hampir seluruh keluarga Raja Dharmawangsa.
Baca Juga: Ternyata Ini Dia Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno dari Prasasti Sampai Candi
Dari tragedi berdarah itu, Prabu Airlangga berhasil selamat.
Ia melarikan ke dalam hutan bersama abdinya, Narottama.
Dalam pelariannya, ia memilih untuk memperdalam kekuatan batin dan ilmu agamanya dengan para pertapa.
Kemudian pada 1019, Airlangga mendirikan kerajaan baru yang dikenal sebagai Kerajaan Kahuripan.
Sejak naik takhta, Raja Airlangga pun memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang pernah melepaskan diri dari Kerajaan Medang.
Selain itu, Raja Airlangga juga menyerang Raja Wurawari dan semua musuh yang memiliki andil dalam runtuhnya Kerajaan Medang.
Kerajaan Kahuripan menjadi penguasa Jawa pada abad ke-11, dengan Raja Airlangga sebagai satu-satunya raja yang pernah memerintah kerajaan ini.
Pasalnya, Kerajaan Kahuripan kemudian dibagi menjadi dua untuk putra Raja Airlangga, yang bernama Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya.
Itu dilakukan Raja Airlangga untuk menyelesaikan konflik perebutan tahta di antara keduanya.
Dua kerajaan pecahan Kahuripan kemudian dikenal sebagai Kerajaan Jenggala yang ibu kotanya terletak di Kahuripan dan Kerajaan Panjalu atau Kediri yang berpusat di Daha.
Peristiwa pembagian kekuasaan ini menandai akhir dari pemerintahan Kerajaan Kahuripan. Setelah turun takhta, Airlangga memilih untuk menjadi pertapa hingga akhir hayatnya pada 1049.
Dengan begitu, Airlangga menjadi pendiri sekaligus satu-satunya raja Kerajaan Kahuripan.
Kemajuan pada masa pemerintahan Raja Airlangga dapat dilihat dari pesatnya pembangunan, termasuk pembangunan bendungan, pelabuhan, dan jalan.
Raja Airlangga juga meringankan beban pajak rakyatnya yang sering terkena musibah.
Selain itu, pada masa pemerintahan Raja Airlangga terdapat seorang pujangga ulung bernama Mpu Kanwa, yang terkenal dengan karyanya berjudul Kitab Arjunawiwaha.
Dipilih menjadi menantu Raja Dharmawangsa hingga akhirnya menjadi Raja Kahuripan, siapa sebenarnya Prabu Airlangga?
Di antara bukti sejarah yang ada, Prasasti Pucangan disebut sebagai yang paling penting.
Prasasti ini menggambarkan siapa Prabu Airlangga yang kemudian menjadi Raja Kahuripan.
Dalam Prasasti Pucangan, Raja Airlangga digambarkan sebagai keturunan Mpu Sindok.
Mpu Sindok adalah pendiri Dinasti Isyana yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-10 Masehi.
Meski, Prabu Airlangga disebut bukan keturunan langsung dari Mpu Sindok, tetapi dari anak perempuan Mpu Sindok yaitu Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan Srilokapala.
Kemudian, mereka memiliki anak bernama Sri Makutangwangsawardhana dan memiliki anak lagi Mahendradatta.
Mahendradatta kemudian menikah dengan raja Udayana dari Bali dan di karuniai tiga anak laki laki, yang salah satunya adalah Airlangga.
Pada usia 16 tahun, Raja Airlangga dikirim ke Jawa untuk dinikahkan dengan putri Raja Dharmawangsa Teguh, bernama Galuh Sekar.
Prasasti Pucangan juga menyebutkan tentang sebuah tragedi yang terjadi di Medang Kamulan.
Disebutkan, tidak lama setelah perayaan pernikahan Airlangga dengan Galuh Sekar, ibu kota kerajaan diserang oleh Wurawari. Istana hancur dan Dharmawangsa Teguh meninggal dalam peperangan.
Setelah berhasil selamat dari tragedi itu, disebutkan Raja Airlangga singgah dan bertapa di daerah Pucangan, mirip dengan nama Gunung Pucangan yang kini terletak di Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang.
Dari keterangan yang ada, Raja Airlangga tidak hanya bertapa, namun turut membuat Prasasti Pucangan. Ia menuliskan kembali kisah pengembaraan beserta seluk-beluk silsilahnya.
(*)