Advertorial

Berpusat di Tanjung Pura, inilah Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan yang Ditaklukkan oleh Gajah Mada dari Jadi Kerajaan Bawahan Majapahit, Sempat Berpindah-pindah Ibu Kota Kerajaan

K. Tatik Wardayati

Editor

Intisari-Online.com - Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin (Kutawaringin) merupakan sebuah kerajaan kepangeranan yang adalah cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah.

Menurut catatan istana al-Nursari, yang terletak di Kotawaringin Lama, didirikan pada tahun 1615 atau tahun 1619 atau 1530.

Kotawaringin adalah nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakertagama, sering pula disebut Kutaringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.

Menurut Kakawin Negarakertagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribuu kota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukkan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Sukadana (Tanjungpura) yang dipimpin oleh Panembahann Kalahirang, melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin).

Tetapi menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukkan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).

Dalam Hikayat Banjar pada bab terakhirnya tertulis tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya.

Di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan.

Dalam Hikayat Banjar, Kota Waringin disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukkan.

Baca Juga: Diselamatkan Sultan Demak dari Nyawanya yang Terancam, Keturunan Negara Daha Ini pun Bentuk Kesultanan Banjar, Kerajaan Besar Bercorak Islam di Kalimantan

Baca Juga: Lengah dari Pengawasan, Bayi ini Merangkak ke Luar Rumah, Saat Ditemukan Kondisinya Sudah Mengenaskan

Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin, sebelum kerajaan itu berdiri.

Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ.

Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin.

Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana.

Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau.

Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh kehulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.

Menurut Hikayat Banjar, tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan, sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638) untuk menjabat adipati Kotawaringin bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding.

Pangeran Dipati Anta-Kusuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan.

Baca Juga: Mirip Acara 'Uang Kaget', Keluarga Pembobol ATM Rp300 Juta Ini Langsung Kalap Habiskan Uang Curian, Daftar Belanjaannya Panjang

Baca Juga: Pacari Istri Orang Selama 1 Bulan Lalu Membunuhnya, Begini Akhir Perjalanan Bagus Putu Wijaya

Masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir).

Pasangan tersebut memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.

Pangeran Dipati Anta-Kasuma membuat hubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Panembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura.

Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jika beranak sampai ke anak cucunya.

Puteri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (ayah Sultan Muhammad Zainuddin) oleh Marhumj Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut.

Pada abad le-18, Ratu Bagawan Muda, putera dari Pangeran Panghulu membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa.

Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh.

Dia menaklukkan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukkannya.

Baca Juga: Penemuan Tengkorak Manusia, Oleh Seorang Pemulung di Bali Hingga Kini Masih Menyisakan Misteri

Baca Juga: Tidak Perlu Jauh-jauh ke Kalimantan Bila Ingin Berbuka Puasa dengan Soto Banjar, di Jakarta pun Ada

Kotawaringin selalu menganggap sebagain besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai.

Dia membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas.

Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda.

Namun, dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia.

Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom KAsumayuda juga menyerahkan takta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.

Ibu kota Kesultanan Kotawaringin semula yang berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau).

Tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukkan dalam Dayak Besar.

Baca Juga: Konon Mendiami Pedalaman Hutan Kalimantan, Inilah Kelompok Suku Dayak Penjaga Hutan Belantara Kalimantan hingga Dilabeli oleh Pemerintah Indonesia Sebagai Suku Terasing

Baca Juga: Tepis Stigma Suku Dayak, Peneliti Eropa Ini Berhasil Temui Mereka, Lukiskan Keseharian Salah Satu Suku di Kalimantan yang Katanya Makan Orang Setiap Hari, Benarkah?

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait