Sebenarnya, dari penyebutan nama-nama mereka di prasasti juga menunjukkan perebutan kekuasaan, pasalnya nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas tidak mengandung nama daerah lungguh.
Kedua raja itu tidak disebutkan gelar rakai mereka.
"Mereka itu bukan pemegang suatu jabatan, baik di pusat maupun di tingkat watak," papar Boechari.
Raja-raja wangsa Sailendra bergelar dengan tiga unsur.
Wangsa Sailendra sendiri adalah keluarga raja penguasa Mataram Kuno yang diawali dari Sanjaya.
Tiga unsur gelar ini antara lain pertama, gelar rakai yang diikuti nama daerah lungguh mereka.
Kemudian nama mereka waktu lahir, dan terakhir diikuti gelar penobatan.
Perebutan kekuasaan di tahta Mataram Kuno ini terjadi makin sering sejak pengangkatan Rakai Kayuwangi, yang menurut Boechari menyalahi aturan.
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan dengan permaisuri Pramodawardhani.
Namun perebutan kekuasaan makin membuat kondisi politik tidak menentu setelah kepemimpinan Balitung.
"Situs Liyangan dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno" yang dimuat di Berkala Arkeologi Vol. 37 Edisi No. 2 2017, Sugeng mengatakan putra mahkota Daksa atau Sri Dakosttama Bahubajra Pratipaksaksaya bukanlah anak Balitung, tapi kemungkinan iparnya.
Kemudian bersama Rakai Gurunwangi yang masih kerabat Rakai Pikatan, Daksa bersekongkol merebut kembali tahta kerajaan dari Balitung.
Daksa berhasil dan ia memimpin selama 8 tahun lamanya, akhirnya diangkatlah putra mahkota, Rakai Layang Dyah Tlodhong, yang ternyata bukan pejabat tingkat satu.
Rakai Layang Dyah Tlodhong menggantikan Daksa pada 918/919 M sebelum digantikan Rakai Sumba Dyah Wawa tahun 928 M.
Dyah Wawa ini bukan anak Tlodhong, dan ia malah tidak berhak atas tahta Mataram, pemerintahannya bahkan sangat singkat bahkan berhenti mendadak.
Kemudian tahta jatuh kepada Raja Mpu Sindok yang memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa, membangun pusat kerajaan di Tamwlang sekaligus membangun wangsa baru, Isana.
Padahal Mpu Sindok masih anggota wangsa Sailendra.