Prasasti Mantyasih diterbitkan guna melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta sah.
Raja-raja yang dicantumkan dalam prasastinya juga para raja yang berdaulat penuh atas seluruh kerajaan.
"Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra, tidak pernah berdaulat penuh karena masa pemerintahan yang terlalu singkat," tulis Kusen.
Sementara itu peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, mengatakan awalnya Balitung bukanlah pewaris tahta yang sah.
Disebutkan dalam "Balitung Putra Daerah yang Sukses Menjadi Raja Mataram Kuno" yang dimuat di Berkala Arkeologi vol 28. No 1 2008, Baskoro mengatakan Balitung bukanlah keturunan langsung Dinasti Sailendra.
Ia menjadi raja semata-mata karena mengawini putri raja sebelumnya.
Kemudian Prasasti Wanua Tengah III berhubungan dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah, itulah sebabnya semua penguasa yang memiliki sangkut paut dengan perubahan status sawah masuk ke dalam daftar tersebut.
Boechari, seorang epigraf atau pakar analisis prasasti, memandang raja Mataram yang berhasil dimahkotai tidak selalu seorang pewaris sah.
Melalui "Tafsiran Prasasti Wanua Tengah III" yang dimuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, ia menyebutkan sudah terjadi beberapa kali perebutan kekuasaan di Mataram.
Perebutan kekuasaan terutama melibatkan raja-raja yang hanya memerintah sebentar seperti Dyah Gula, Dyah Tagwas, Rake Panumwangan dan Rake Gurunwangi.