Penulis
Intisari-Online.com - Kapal-kapal di perairan China secara mendadak menghilang dari sistem pelacakan industri.
Hal ini membuat rantai pasokan global pusing kepala.
Melansir CNN, Kamis (25/11/2021), hal ini berasal dari rasa curiga China terhadap pengaruh asing hinggaChina melakukan isolasi.
Analismengatakan mereka mulai memperhatikan penurunan lalu lintas pengiriman menjelang akhir Oktober.
Ini terjadikarena China bersiap untuk memberlakukan undang-undang yang mengatur privasi data.
Biasanya, perusahaan data pengiriman dapat melacak kapal di seluruh dunia karena dilengkapi dengan transceiver Sistem Identifikasi Otomatis, atau AIS.
Sistem ini memungkinkan kapal untuk mengirim informasi — seperti posisi, kecepatan, arah, dan nama — ke stasiun yang berbasis di sepanjang garis pantai menggunakan radio frekuensi tinggi.
Jika kapal berada di luar jangkauan stasiun tersebut, informasi dapat dipertukarkan melalui satelit.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi China.
Dalam tiga minggu terakhir, jumlah kapal yang mengirim sinyal dari negara tersebut telah turun hampir 90%, menurut data dari penyedia data pengiriman global VesselsValue.
"Kami saat ini melihat pengurangan luas industri dalam sinyal AIS terestrial di China," kata Charlotte Cook, kepala analis perdagangan di VesselsValue.
Undang-undang data baru dapat memperburuk kekacauan rantai pasokan.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan kepada CNN Business bahwa stasiun AIS di sepanjang garis pantai China yang dibangun secara legal sesuai dengan perjanjian internasional "belum ditutup" dan "beroperasi secara normal."
Platform AIS yang tersedia untuk umum juga beroperasi secara normal, tambahnya.
Kantor Informasi Dewan Negara, yang bertindak sebagai kantor pers untuk kabinet negara, tidak menanggapi permintaan komentar tentang 'kapal-kapal yang mendadak hilang.'
Paraanalis berpikir mereka telah menemukan pelakunya: Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi China , yang mulai berlaku 1 November.
Aturan tersebutmengharuskan perusahaan yang memproses data untuk menerima persetujuan dari pemerintah Tiongkok sebelum mereka dapat membiarkan informasi pribadi dapat diakses pihak lain.
Peraturan itu juga sekaligusmencerminkan ketakutan China bahwa data tersebut bisaberakhir di tangan pemerintah asing.
(*)