Seantero Dunia Kerap Keliru, Ternyata Ini Bedanya Syariat Islam di Afghanistan dan di Arab Saudi, Dibongkar Langsung oleh Mantan Kepala Intelijen

May N

Penulis

Foto mantan Kepala Intelijen Arab Saudi, Turki al-Faisal

Intisari-Online.com -Mantan Kepala Badan Intelijen Arab Saudi, Pangeran Turki al-Faisal berjanji dengan perhitungan yang pas, ia akan memberi jarak bagi Intelijennya dan Arab Saudi terhadap peran apapun terkait bangkitnya pergerakan Taliban di Afghanistan.

Ia memaparkan, ia sudah mengundurkan diri 10 hari sebelum kejadian September 2001.

Pangeran Faisal juga mencatat bahwa kontras dengan pemikiran seluruh dunia, Taliban tidak mengadopsi tafsir Saudi atas Syariat Islam.

Mengutip The Arab Weekly, mereka menggunakan tafsir Sufi Deobandi seperti disampaikan oleh Pangeran Faisal.

Baca Juga: Buntut Perkara Jatuhnya Afghanistan ke Tangan Taliban, Inilah 'Dalang' Sebenarnya yang Bertanggung Jawab Atas Insiden Tewasnya Warga Afghanistan Setiap Minggunya

Ia menekankan bahwa ini artinya Taliban adalah ideologi agama yang cukup religius yang berbeda dari yang tafsir Muhammad ibn Abd al-Wahhab.

Pangeran Faisal berbicara pada 22 September, selama rapat Royal Society of Asian Affairs di London.

Rapat tersebut dilakukan guna menandai rilisnya buku "The Afghanistan File" karangannya, diedit oleh Michael Field.

Pernyataannya datang setelah Biro Investigasi Federal (FBI) membeberkan dokumen terkait pada serangan 9/11.

Baca Juga: Sudah Ada Senapan Lebih Modern Sekelas AK-47, Mengapa Masih Banyak yang Menggunakan Senapan Tua Lee-Enfield?

Pernyataannya juga datang kebetulan dengan meningkatnya tekanan pada Arab Saudi bersamaan dengan hubungan yang terus berlanjut antara Washington dengan kerajaan.

Pangeran Faisal mencatat visi agama Islam di Arab Saudi sangat berbeda dari Taliban dan al-Qaeda, dalam upayanya meluruskan salah paham yang mengklaim dua kelompok radikal tersebut telah terinspirasi oleh Wahabi yang digerakkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab.

Pengamat mengatakan kepada Arab Weekly jika Pangeran Faisal mencari cara menjauhkan kerajaan dari al-Qaeda dan kelompok ekstrimis lain.

Pangeran, dikatakan oleh pengamat, menyangkal peran Arab Saudi dalam kejadian September 2001, entah langsung atau tidak langsung, bahkan jika sebagian besar yang menyerang adalah warga kebangsaan Arab Saudi.

Baca Juga: Sampai Pilih Khianati Taliban demi Bergabung dengan ISIS-K, Pembelot Taliban Ini Bongkar Kondisi Sebenarnya di Afghanistan Setelah Taliban Berkuasa

Ketiadaan hubungan apapun sebelumnya dengan Taliban akan memperbolehkan Arab Saudi berurusan lebih bebas dengan situasi baru di Afghanistan.

Dalam pernyataan sebelumnya, Pangeran Faisal telah mengatakan bahwa "Al-Qaeda menarget kerajaan dahulu sebelum siapapun lainnya," ungkapnya merujuk pada Arab Saudi.

Dalam pernyataan terbarunya, ia mencatat perbedaan antara interpretasi hukum syariat Wahhabi dan sekolah Deobandi yang diikuti oleh Taliban.

Ia menekankan bahwa "ada banyak perbedaan, apakah di media atau buku ilmiah yang mengklaim ada pengaruh Wahhabi di Taliban. Namun bukan ini yang terjadi."

Baca Juga: Pantas Saja Warga Afghanistan Ketakutan, Taliban Baru Saja Tembak Mati 4 Orang dan Menggantung TubuhMayat Mereka di Alun-alun, SebutItu Peringatan

Deobandi yang diklaim Pangeran Faisal sebagai pegangan syariat Islam oleh Taliban, adalah sekolah Islam India yang mencampurkan pemikiran Salafi yang ketat dengan Sufisme.

Tafsir ini telah banyak dikritik oleh pergerakan Sunni Arab.

Dalam pernyataan terbarunya, mantan kepala intelijen Arab Saudi juga membeberkan rincian penting terkait data Afghanistan, mengatakan jika ia secara pribadi berjanji membuat Osama bin Laden diekstradisi pada 1998, tapi kemudian mantan pemimpin Taliban saat itu Mullah Omah berbalik arah menolak ide itu setelah awalnya sepakat.

Pangeran Faisal mengatakan bahwa "Mullah Omar secara sederhana menampik jika ia telah berjanji menyerahkan bin Laden atau membentuk komite bertugas mencari cara melakukannya."

Baca Juga: Taliban Tidak Bisa Berbohong Lagi, Orang Dalam Ini Bocorkan Kelompok Militan Itu Akan Gunakan Eksekusi Brutal yang Bisa Bikin Rakyat Afghanistan Makin Menderita, 'Potong Tangan Jadi Hal Biasa'

Ia menambahkan, "Setelah Mullah Omar mengatakan bahwa Arab Saudi seharusnya berbicara dengan bin Laden dan alih-alih melawannya, seharusnya melawan imperialis, saya dengan tegas mengatakan: Tuan Omar, apa yang Anda katakan dan apa yang Anda lakukan akan membawa kerugian kepada Anda dan kita semua…. Dan ketika kembali ke kerajaan, saya mengirim laporan kepada raja dan putra mahkota menasihati mereka memotong hubungan dengan Taliban, yang akhirnya dilakukan Arab Saudi."

Pangeran Faisal juga membeberkan jika Arab Saudi telah sebelumnya mencoba menengahi antara Taliban dan pemerintah mantan Presiden Hamid Karzai dan ini dilakukan setelah permintaan Hamid Karzai.

Ia menambahkan, "delegasi Taliban mengunjungi kerajaan dan putra mahkota, yang kemudian menjadi Raja Abdullah, bertanya kepada mereka: apakah kau memutus hubunganmu dengan al-Qaeda? Ini sebelum kematian bin Laden. Jawaban mereka: tidak. Sehingga kami mengatakan kepada mereka, OK, kita tidak akan punya hubungan denganmu sampai kau memotong hubunganmu dengan bin Laden."

Meskipun mengangkat banyak poin perselisihan dengan Taliban, Pangeran Faisal memperingatkan masyarakat internasional agar tidak meninggalkan Afghanistan pada saat kritis saat ini.

Baca Juga: Masa-masa Emas Taliban Diprediksi Akan Segera Berakhir, Sosok Ini Ungkap 'Kebodohan' Taliban Termasuk Kabinetnya yang Semi-Melek Huruf

Dia juga menyerukan perlunya mendukung negara, mendesak Taliban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung pernyataan mereka sehingga menunjukkan kesiapan gerakan untuk keterbukaan dan kerja sama.

Lebih dari negara Sunni lainnya, Arab Saudi memiliki posisi yang lebih baik untuk memainkan peran kunci di Afghanistan.

Namun, kerajaan tidak ingin melihat negara itu berubah menjadi landasan bagi ambisi Iran, seperti yang terjadi di masa lalu ketika Teheran mengeksploitasi sarang ketegangan untuk memperluas pijakannya di kawasan itu, khususnya di Irak, Suriah, dan Yaman.

Artikel Terkait