Sudah Mengenal Tauhid, Kepercayaan Asli Timor Leste Punya Tuhan yang Maha Esa yang Disebut Maromak

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Orang Timor Leste

Intisari-Online.com- Kepercayaan tradisional Timor Leste memiliki unsur-unsur tertentu dari animisme.

Namun, meski begitu mereka memiliki referensi yang jelas kepada Tuhan sebagai satu-satunya Yang Mahatinggi.

Secara teologis kepercayaan tradisional ini memiliki landasan yang seharusnya diakui sebagai Monoteisme.

Dalam berdoa, harus ada seseorang yang bertindak sebagai mediator untuk menyampaikan doa pada yang dituju.

Baca Juga:Penembaknya Berhasil Sembunyi di Parit, Detik-detik Mendebarkan Ketika Presiden Timor Leste Jadi Sasaran Pembunuhan Para Pemberontak Hanya 6 Tahun Usai Merdeka

Biasanya mereka mengatakan bahwa Maromak (Dewa) terlebih dahulu dan kemudian Matebian, arwah leluhur dan saudara yang telah meninggal, atau Klamar (Jiwa).

Bagi orang Timor tidak ada perbedaan antara Klamar dan Matebian, kedua kata tersebut adalah sinonim, dan berarti jiwa.

Tesis yang ditulis oleh Jose Cancio da Costa dengan judulThe Timorese Indigeneous Beliefs and The Christian Faith, ditulis seorang misionaris Spanyol pernah memberi kesaksiannya tentang konsep tauhid dalam sebuah konferensi bahwa penduduk asli Timor di bagian paling timur Timor-Leste (Lospalos) menegaskan bahwa Lulik (Suci) hanya satu (Ukane haa).

Mereka tidak memiliki konsep tentang Tuhan, tetapi memiliki gagasan tentang Dia sebagai Satu-satunya Wujud Tertinggi di atas semua jiwa.

Baca Juga:Detik-detik Kronologi Indonesia Menginvasi Timor Leste pada 1975 hingga Soeharto Digulingkan dari Kekuasaannya pada 1998

Dalam konteks ini kita dapat memahami doa Hato´o ba! Hatutan ba!

Jiwa-jiwa dari nenek moyang bertindak sebagai mediator yang menginformasikan dan mengirimkan pesan dari yang hidupkepada Tuhan atau Lulik (Suci).

Tidak begitu jelas dari mana mereka mendapatkan sumber penegasan Tauhid ini.

Jorge Barros Duarte menegaskan unsur-unsur animisme dan pada saat yang sama mengakui gagasan Tuhan dalam kepercayaan tradisional orang Timor.

Baca Juga:Reruntuhan Benteng Portugis di Timor Leste Ini Ditumbuhi Pohon Beringin, Hati-hati Jika Anda Melihat Buaya Berkeliaran

Istilah Maromak sebagai Yang Maha Esa adalah satu-satunya konsep formal yang merujuk kepada Tuhan semata.

Konsep ini terkait dengan gagasan Cahaya sebagai arti istilah dalam Terik, Tetun dalam versi Wehali yang diadaptasi untuk semua orang Timor bahkan untuk Gereja.

Maromak adalah entitas yang lebih tinggi di atas hierarki Lulik.

Namun, setiap suku memiliki denominasi konseptualnya sendiri tentang Tuhan.

Baca Juga:Teknik Tenun Tradisional Kain Tais di Timor Leste yang Istimewa, Bukan dengan Mesin Namun Menggunakan Songket

Mereka menggunakan representasi Alam yang lebih tinggi, seperti Matahari atau Bulan, dalam kaitannya dengan Tuhan.

Sebutan ini berasal dari pengalaman keagamaan mereka tentang manifestasi ilahi di zaman kuno.

Semua ritual mengungkapkan gagasan tentang Yang Sakral (Lulik) yang tidak dapat dikonseptualisasikan.

Pinto Correia juga menyebut Maromak sebagai Dewa Tertinggi dalam bukunya “Gentio de Timor” dan menyoroti arti kata Maromak sebagai “Kejelasan” atau sebagai Cahaya.

Di titik lain dia salah memahami representasi benda-benda suci.

Tidak benar jika dikatakan bahwa masyarakat adat Timor memuja berhala, dan kedengarannya bertentangan dengan penegasannya tentang Maromak (Dewa/Kejernihan/Cahaya).

Baca Juga:Meski Akhirnya Merdeka, Banyak Penduduk Timor Leste yang Pilih Tetap Bergabung dengan Indonesia hingga Jadi Pengungsi

Eskatologi Timor sebenarnya menarik dan menegaskan keyakinan monoteistik.

Jose Bernardino Rodrigues menggarisbawahi dalam bukunya “O Rei de Nári” bahwa masyarakat adat Timor percaya adanya surga dan neraka.

Jika kita melihat prasejarahnya kita harus mengakui bahwa Timor Leste tidak terisolasi dari dunia luar.

Pengaruh orang Melanesia, Polinesia dan Melayu masih sangat jelas.

Mereka juga mengakui bahwa Maromak adalah asal dan akhir dari segala sesuatu.

Ada mitos tentang penciptaan yang mengungkapkan sesuatu yang persis sama seperti yang ditulis Jose Bernardino Rodrigues dalam bukunya “O Rei de Nári”.

(*)

Artikel Terkait