Penulis
Intisari-Online.com - Timor Leste memperoleh kemerdekaannya melalui Referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999.
Referendum yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut menunjukkan hasil bahwa mayoritas rakyat Timor Leste menginginkan kemerdekaan.
Yaitu sebanyak 344.580 orang atau 78.5 persen warga Timor Timur yang memilih merdeka.
Sementara sisanya, sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen, memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia.
Bahkan, setelah Timor Leste merdeka, banyak rakyat Timor Leste mengungsi ke Indonesia dan negara-negara lainnya.
Berikut ini fakta-fakta pengungsi Timor Leste:
1. Meninggalkan kampung halaman seiring kekerasan pasca-Referendum.
Periode antara 1999 dan 2002 di Timor Leste diwarnai dengan kekerasan.
Kekerasan pecah ketika pasukan yang setia kepada pemerintahan Indonesia berperang dengan kelompok pro-kemerdekaan.
Ratusan ribu pengungsi dari Timor Leste meninggalkan negara itu selama waktu ini.
2. Banyak yang kembali ke rumah, ada yang menetap di negara lain.
Saat ini, banyak pengungsi dari Timor Leste telah kembali ke rumah.
Tetapi ada pula yang tetap tinggal di negara-negara Asia Tenggara lainnya dan negara-negara lain di seluruh dunia.
Menurut Bank Dunia, pada tahun 2015 hanya ada 20 pengungsi dari Timor Leste yang tinggal di negara lain.
Hitungan resmi jumlah pengungsi dari Timor Leste telah menurun tajam selama dua dekade terakhir.
3. Sebagian pengungsi memperoleh status non-pengungsi.
Selain karena banyak yang kembali ke rumah, jumlah pengungsi dari Timor Leste turun drastis juga karena mereka mendapatkan status non pengungsi di negara tuan rumah.
Mereka memperoleh status tempat tinggal atau non-pengungsi di negara tuan rumah masing-masing.
4. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bantu para pengungsi.
UNHCR adalah badan PBB yang bertanggung jawab untuk melacak dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi.
UNHCR membuka kantor di Dili, ibu kota Timor Leste, pada tahun 1999 selama krisis politik terkait kemerdekaan.
Badan tersebut membantu ratusan ribu pengungsi dari Timor Leste dan orang-orang terlantar di dalam negeri, menyediakan obat-obatan, sumber daya dan perjalanan ke para pengungsi.
Pada tahun 2012, UNHCR menutup kantornya di Dili, mengingat kampanyenya mengenai pengungsi dari Timor Leste berhasil.
Penutupan itu ditandai dengan upacara publik, di mana mantan Presiden Timor Leste, José Ramos-Horta, berterima kasih kepada badan tersebut atas kerja luar biasa selama krisis kemanusiaan dan politik negara muda itu.
PBB membantu memulangkan sekitar 220.000 pengungsi Timor Leste.
5. Mantan Presiden José Ramos-Horta jadi pengungsi selama pendudukan Indonesia.
Ada penduduk Timor Leste yang juga menjadi pengungsi selama wilayah ini berada di bawah pemerintahan Indonesia.
Selama pendudukan Timor Leste Indonesia dari tahun 1975 hingga 1999, Ramos-Horta adalah pendukung kuat kemerdekaan Timor Leste, meskipun ia sendiri tidak pernah mengangkat senjata.
Dia mempresentasikan kasus kemerdekaan Timor ketika tinggal sebagai pengungsi di Australia dan AS.
Pada 1980-an, ia memulai proses negosiasi dengan Indonesia, yang berpuncak pada presentasinya tentang rencana perdamaian ke Indonesia pada tahun 1992.
Rencana perdamaiannya termasuk kesepakatan antara Indonesia dan Timor Leste dalam kerjasama kemanusiaan, dan mengizinkan organisasi internasional seperti PBB untuk bekerja di Timor Leste.
Karyanya sebagai pengungsi dari Timor Leste dan pembelaannya yang damai untuk kemerdekaan Timor membuat ia mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.
6. Tidak semua pengungsi dari Timor Leste meninggalkan negaranya atas kemauan mereka sendiri.
Ribuan orang diusir paksa dari negara itu oleh pemerintah dan pasukan pro-Indonesia dan didorong ke Timor Barat, yang dikendalikan oleh Indonesia.
Banyak dari pengungsi ini juga dipulangkan oleh PBB, tetapi sekitar 100.000 memilih untuk tetap tinggal di provinsi Indonesia Nusa Tenggara Timur setelah kemerdekaan penuh Timor pada tahun 2002.
7. Pengungsi Timor Leste di Indonesia
Para pengungsi dari Timor Leste di Indonesia menerima sedikit atau tidak sama sekali bantuan dari pemerintah Indonesia.
Meski kelompok-kelompok swasta, badan-badan internasional dan organisasi keagamaan memberikan bantuan untuk mereka.
Misalnya, Suster Sesilia Ketut, seorang biarawati Indonesia, menyumbangkan uang kepada para pengungsi untuk membantu mereka memulai usaha menenun dan mencari nafkah selama di Indonesia.
Suster Sesilia memulai Forum Perempuan dan Anak pada tahun 2000 untuk membantu lebih dari 300 janda yang tinggal di Indonesia yang kehilangan suami mereka dalam perjuangan untuk kemerdekaan Timor.
Dia memberikan pelatihan bisnis, membantu para janda dengan anak-anak mereka dan bahkan secara pribadi membantu memulangkan lebih dari 400 pengungsi Timor Leste.
(*)