Find Us On Social Media :

Pantas Kokoh di Puncak Klasemen Olimpiade Tokyo 2020, China Ternyata Sampai Paksa Atletnya Kawin Hanya Demi Lahirkan Atlet Spesial Ini, Sampai Bikin Trauma Satu Dekade

By Ade S, Sabtu, 7 Agustus 2021 | 13:29 WIB

Pebasket lengeda Cina, Yao Ming (tengah) memberi selamat kepada sejumlah pemain negaranya setelah be

Intisari-Online.com - Atlet-atlet China terus mendulang medali hingga membuat negaranya kokoh di puncak klasemen Olimpiade Tokyo 2020.

Dari sisi raihan medali perak dan perunggu serta total raihan medali, China memang masih di bawah Amerika Serikat.

Namun, hingga berita ini diturunkan, China masih unggul 4 medali emas dengan musuh bebuyutannya tersebut.

Meski hasil akhir dari klasemen ini masih mungkin berubah, banyak pihak yang tetap takjub dengan keberhasilan atlet-atlet China.

Baca Juga: Cari Keuntungan Terus, Kemenangan Para Atlet di Olimpiade Justru Paling Menguntungkan China, Tanpa Sadar Dunia Sumbang Medali Bagi China

Kemajuan ekonomi serta militer negara tersebut ternyata memang merembet juga ke kemajuan mereka di bidang olahraga.

Hanya saja, kabar keberhasilan atlet-atlet China tersebut sering kali diiringi dengan kabar tentang bagaimana atlet-atlet tersebut dilatih.

Terbaru, 24h.com.vn pada Senin (2/8/2021) mengungkapkan bahwa keberhasilan atlet-atlet China terjadi salah satunya berkat penggunaan teknologi roke dis ebuah perusahaan antariksa terbesar di China.

China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) mengungkapkan bagaimana para ilmuwan angkasa luar negara itu telah membantu para perenang memperbaiki teknik berenang mereka.

Baca Juga: Tak Hanya Disoroti Warga Indonesia Kemenangan Indonesia Atas China di Olimpiade, Ternyata Juga Disoroti Oleh Media China Sampai Menggambarkannya Begini

Selain itu, lewat versi ringkas dari sistem panduan rudal tersebutlah para atlet tersebut mampu mengurangi hambatan saat mereka berada di dalam air.

"Postur renang secara langsung mempengaruhi kecepatan," CASC menegaskan.

Latihan keras calon atlet

Selain menggunakan teknologi, China juga diketahui melakukan latihan yang keras dan penuh disiplin pada calon-calon atlet masa depannya.

Mungkin masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana beberapa tahun silam foto-foto dari atlet-atlet 'cilik' China tersebar.

Dalam foto-foto tersebut, terlihat bagaimana anak-anak kecil yang masih polos harus menjalani latihan yang sangat keras.

Wajah-wajah mereka secara jelas menunjukkan bagaimana mereka tersiksa dengan metode latihan yang harus mereka jalankan.

Dari mulai mengangkat beban, melenturkan tubuh, hingga menggantungkan badan dengan tangan mengarah ke belakang tubuh.

Baca Juga: Termasuk Berbagi Medali Emas, Aksi Manis Kebaikan Atlet Olimpiade Ini Tunjukkan Olimpiade Tak Hanya Ajang Kompetisi Memperebutkan Medali Semata

Namun, anak-anak yang diketahui berada di sebuah kamp pelatihan atlet junior di Chengdu tersebut mau tak mau tetap menjalaninya.

Sebab, disebutkan bahwa atlet-atlet China, mungkin beberapa kini berhasil mendulang medali di Olimpiade Tokyo, berasal dari sana.

Atlet hasil rekayasa bernama Yao Ming

Jika Anda penggemar pertandingan basket NBA pada periode 2000-an, Anda tentu tidak asing dengan Yao Ming.

Selain menjadi salah satu megabintang dari kompetisi basket paling tenar sejagat, dia juga menjadi simbol kesuksesan China.

Atlet basket yang memiliki tinggi 228 sentimeter tersebut kokoh menjadi center Houston Rockets selama 8 musim.

Hanya saja, sebuah rahasia besar tentang asal-usul Yao Ming, pada akhirnya membawa sebuah kisah yang mengejutkan.

Melalui buku berjudul Operation Yao Ming, mantan jurnalis Newsweek Brook Larmer mengungkapkan bahwa pebasket tersebut tak ubahnya seperti hasil eugenika Nazi Jerman.

Baca Juga: Bak Sudah Bersiap Gali Kuburan Massal untuk Warganya Sendiri, Jepang Pilih Menganaktirikan Rakyatnya saat Covid-19 Kian Merajalela, Semata Demi Olimpiade 2020?

Yao Ming memang terlahir dari dua "bibit unggul", yaitu ayah dan ibu yang merupakan pebasket profesional dengan tubuh yang menjulang.

Namun, satu hal yang jarang diketahui adalah bahwa pernikahan keduanya buakn murnia karena urusan cinta, tapi merupakan paksaan dari para pejabat Shanghai.

"Itu bukan program pemuliaan nasional, itu adalah keinginan di antara pejabat Shanghai agar mereka berkumpul," kata Larmer seperti dilansir dari smh.com.au.

"Tapi ketika Yao lahir, semua orang di komunitas olahraga di Shanghai dan secara nasional tahu dia adalah sesuatu yang istimewa."

Bahkan, ketika akhirnya Yao Ming tumbuh luar biasa, mencapai tinggi 165 cm di usia 10 tahun, pasangan tersebut pun enggan mengizinkan anaknya berlatih di kamp basket.

Pernikahan paksa mereka telah membuat mereka merasa trauma dengan arena basket yang justru sempat mereka gemari.

Tapi apa daya, seperti umumnya terjadi di China, pemerintah setempatlah yang memutuskan segala hal dari rakyatnya.

Yao Ming pun akhirnya menjadi seorang atlet yang benar-benar dilatih dan diberi ramuan khusus agar menjadi simbol keberhasilan China di bidang olahraga, khususnya basket.

 

Baca Juga: 'Saya Tahu Betapa Frustasinya', Cerita di Balik Keputusan Atlet Qatar dan Italia Berbagi Emas Lompat Tinggi Olimpiade Tokyo, padahal Masih Ada Peluang Membawa Pulang 'Kebanggan' Itu Untuk Sendiri