Find Us On Social Media :

Doktrin Pembangunannya Jadi Panduan Abadi, Inilah Shigeru Yoshida, Perdana Menteri yang 'Sulap' Wajah Jepang dari Pesakitan Pasca Perang Dunia II, Jadi Negara Termaju di Asia

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 29 Juli 2021 | 19:29 WIB

Shigeru Yoshida, Perdana Menteri Jepang Pasca-Perang Duia II

Intisari-Online.com - Shigeru Yoshida, (lahir 22 September 1878, Tokyo-meninggal 20 Oktober 1967, Oiso, Jepang).

Dia adalah perdana menteri Jepang yang menjabat selama sebagian besar masa transisi kritis setelah Perang Dunia II.

Tepatnya saat Pasukan Sekutu menduduki negara itu dan Jepang berusaha membangun institusi demokrasi baru.

Setelah lulus hukum dari Universitas Kekaisaran Tokyo pada tahun 1906, Yoshida masuk ke Kementerian Luar Negeri.

Baca Juga: Lebih dari Tujuh Dekade, Satu Juta Tentara Jepang Selama Perang Dunia II Ini Masih Belum Ditemukan, yang Tersebar di Banyak Negara dan Seluruh Asia

Pada tahun 1928 dia diangkat menjadi menteri luar negeri ke Swedia, Norwegia, dan Denmark dan kemudian wakil menteri luar negeri (1928–30).

Pada tahun 1936 tentara memveto pengangkatannya sebagai menteri luar negeri, dan dia malah dijadikan duta besar untuk Inggris Raya, menjabat sampai tahun 1939.

Selama Perang Dunia II usahanya untuk memaksa Jepang menyerah lebih awal menyebabkan penangkapannya pada bulan Juni 1945.

Dia tidak dibebaskan sampai pendudukan Sekutu pada bulan September tahun itu, dan dia kemudian menjabat sebagai menteri luar negeri di Kabinet Shidehara Kijur, yang dibentuk setelah penyerahan diri.

Baca Juga: Kronologi dan Penyebab Peristiwa Rengasdengklok Lengkap: Saat Golongan Pemuda Mencoba Menjauhkan Golongan Tua dari Pengaruh Jepang

Setelah ketua Partai Liberal, Hatoyama Ichiro, dilarang oleh Sekutu dari partisipasi dalam politik, Yoshida mengambil kendali partai dan berhasil menjadi perdana menteri pada 22 Mei 1946.

Meskipun pemimpin Sosialis Katayama Tetsu mampu membentuk Kabinet pada tahun 1947 dan 1948, dan Ashida Hitoshi yang berhaluan kiri menjabat untuk sementara waktu pada tahun 1948, Yoshida menjabat sebagai perdana menteri untuk sebagian besar periode antara tahun 1946 dan 1954, membentuk lima kabinet terpisah.

Setelah membangun pengikut pribadi yang besar, dia mampu memerintah hampir secara otokratis.

Yoshida memberikan stabilitas di Jepang dalam periode pemulihan kritis ini.

Baca Juga: ‘Tentara Hantu’ Pasukan Khusus Saat Perang Dunia II, Rekrutannya adalah Pekerja Seni, Rekam Suara-suara Militer untuk Kelabui Musuh AS, Tapi Tak Pernah Diakui dengan Layak oleh Pemerintah Atas Upaya Heroik Mereka

Dia membimbing negaranya kembali ke kemakmuran ekonomi, menetapkan jalan untuk kerjasama pascaperang dengan Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Untuk memulihkan Jepang yang hancur pasca-perang baik dari segi ekonomi dan infrastruktur, dia menjalin hubungan dengan negara-negara Barat.

Jepang mulai menerapkan pasar bebas, perusahaan besar yang hancur seperti Toyota mendapat pinjaman untuk pemulihan.

Pada tahun 1951 dia merundingkan perjanjian damai yang mengakhiri Perang Dunia II, serta pakta keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat.

Baca Juga: Perdana Menteri Kanada Minta Maaf Atas Penahanan Warga Kanada Italia Selama Perang Dunia II, Dianggap Sebagai ‘Alien’ Musuh yang Potensial Ancam Keselamatan Negara

Pada 1952, percobaan pembunuhan dilakukan oleh Kolonel Takushiro Hattori terhadap Yoshida, lantaran pemikirannya yang masih fasis.

Pada tahun 1954 Hatoyama Ichiro, yang telah dikeluarkan dari daftar pembersihan politik Sekutu pada tahun 1951, menantang Yoshida dan memaksanya keluar dari kantor.

Ketika dua partai konservatif bergabung menjadi Partai Liberal-Demokrat di bawah kepemimpinan Hatoyama pada tahun 1955, Yoshida pensiun dari politik.

Pemikirannya dikenal sebagai 'Doktrin Yoshida' yang masih digunakan Jepang untuk membangun negerinya hingga beberapa tahun ke depan.

Baca Juga: Kisah Steward Poon Lim, Berhasilkah Bertahan 133 Hari Terombang-ambing di Tengah Laut Setelah Kapalnya Ditenggelamkan oleh Jerman saat Perang Dunia II?

(*)